Jumat, 05 Juli 2013

Mawar Putih Untuk Rani



Aku masih terpaku menatap sosok itu. Senyum ceria menghiasi setiap langkahnya. Dia berlari, diikuti salah seorang temannya. Dia menatapku dan tersenyum. Lantas dia mendekatiku dan menarik tanganku. “Kak, ayo ikut bermain.” Katanya.
“Tidak sayang. Kakak tidak bisa berlari seperti kalian.” Kataku sambil tersenyum.
Dia hanya tersenyum dan kemudian pergi melanjutkan bermain bersama temannya.
“Ayo Nisa, kita masuk ke kamar dulu.” Kata salah seorang dari belakangku. Aku sudah hafal betul itu suara siapa. Bagaimana rupa sang pemilik suara tersebut. Karena telah dua tahun ini, dialah yang menjadi keluarga keduaku. Namanya Sinta. Seorang yang sangat cantik, baik, ramah, tinggi. Dia seumuran denganku. Dia yang menjadi tempatku mengadu, dua tahun terakhir ini. Hanya didepan dia, aku bisa menunjukan kelemahan, ketakutan, dan kepedihanku. Setidaknya selama keluargaku yang sesungguhnya tidak kemari menemuiku.
Umurku sekarang 18 tahun, setidaknya akan terus seperti itu, sebelum Dia datang dan menghentikan semua. Mengambil apa yang pernah Dia berikan padaku. Menarikku kembali kedalam keabadianNya.
Tiga setengah tahun yang lalu, saat usiaku 15 tahun. Sesuatu hal yang buruk itu terjadi. Aku pingsan saat mengikuti pelajaran di sekolah. Aku dibawa ke UKS. Karena beberapa jam aku tidak sadar, pihak sekolah membawaku ke rumah sakit. Mulai saat itu hidupku berubah. Dimana masa-masa kebahagiaan itu berubah menjadi ketakutan yang luar biasa. Bunda membawa selembar kertas putih sambil menangis. Beliau memelukku. Kakakku, Baim, yang jarak umurnya denganku tiga tahun juga menangis disudut kamar rawat rumah sakit. Ayah diam seribu bahasa disamping Baim. Dan aku tahu, dimana saat ayah diam, disanalah ayah sedang menyembunyikan sebuah kesedihan.
Bunda memelukku semakin erat. Isaknya semakin terdengar keras. Aku semakin bingung. Lalu perlahan ayah mendekatiku dan bunda. Ayah memegangi kepalaku. “Ayah akan lakukan semua hal, asal kamu bisa sembuh sayang.”
“Sembuh? Memang aku sakit apa ayah?” tanyaku penasaran. Mungkin terdengar sedikit nada ketakutan dalam nada bicaraku.
Hening.. Semua diam. Baim yang biasanya usil dan tidak pernah bisa diam, mendadak menjadi Baim yang lain.
Dengan menahan isaknya, bunda mengimbuhi. “Kamu kena kanker tulang sayang.” Bunda jadi semakin erat memelukku. Dan semakin keras pula menangis.
Beberapa detik itulah yang membuat hidupku berubah sampai saat ini. Karena aku sering pingsan tanpa sepengatahuan ayah, bunda, dan Baim, ayah memasukan ku ke tempat ini. Bukan karena ayah ingin mengusirku dari rumah. Hanya saja, bila dirumah, tidak ada yang bisa mengurusku. Karena keadaanku yang semakin lama semakin memburuk. Dan aku mulai butuh dokter yang siaga mengobatiku saat sakit itu mulai menyerang kembali.
Tentang Sinta, dia awalnya perawat magang disini. Sejak pertama dia magang disini, aku sudah menyukainya. Makanya aku meminta dokter untuk mempekerjakannya disini. Dan Sintapun mau.
Disini aku punya banyak teman yang bernasib sama sepertiku. Anak kecil yang berlarian tadi, namanya Rani. Umurnya baru tujuh tahun, tapi sejak kecil dia sudah divonis mengidap kanker otak. Dia bahkan berada disini lebih lama dariku. Namun aku salut padanya. Dia selalu tersenyum. Mungkin dia tidak pernah berpikir, bahwa beberapa saat lagi, hidupnya akan berakhir. Atau mungkin dia tahu? Dan selama ini dia hanya ingin menikmati sisa hidupnya? Entahlah-.
Dua tahun yang lalu, saat ayah, bunda, dan Baim meninggalkanku ditempa ini. Saat aku menangis dikamar rawatku, Rani datang membawa sebuah gambar. Dimana digambar itu ada lima orang. Dua orang dewasa, satu bayi dalam gendongan perempuan dewasa, satu perempuan sedikit besar, dengan rambut dikucir dua, dan satu anak kecil yang letaknya sedikit menjauh dari keempat orang yang lain. “Ini mamaku kak. Ini papaku. Ini adikku. Dan ini kakakku.” Katanya lembut, sambil menunjuk satu persatu orang didalam gambar tersebut.
Aku mengusap airmataku. “Lantas yang ini?” tanyaku menunjuk seorang anak yang posisinya sedikit jauh.
“Yang ini aku kak. Awalnya aku mikir saat mama dan papaku menaruhku disini, berarti mereka membuangku. Tapi ternyata tidak, aku disini demi kebaikanku sendiri kak. Itu kata dokter. Hehe.” Katanya sambil tersenyum.
Aku terenyuh mendengar perkataan Rani saat itu. Dan itulah yang menjadi tonggak awal semangatku berada disini. Rani anak yang masih sekecil itu saja, bisa berpikir seperti itu, kenapa aku tidak??
Senyum Rani selalu menghiasi hari-hariku disini. Perhatian Sinta yang sedemikian besar juga membuatku lebih nyaman berada disini. Tiap akhir minggu keluargaku juga sering kesini. Sekedar menjenguk atau membawakan makanan yang diperbolehkan dokter untuk ku makan.
Kalau Baim? Jangan ditanya. Bisa dua hari sekali dia kesini. Bahkan suatu hari, pernah dia setiap hari kesini. Alasannya bukan karena aku adiknya yang malang ini. Tapi karena dia lagi PDKT sama Sinta.
Dan akhirnya aku punya inisiatif untuk menjodohkan mereka. Selain disatu sisi Sinta jomblo, dia juga baik banget sama aku. Dan aku juga udah srek banget sama Sinta. Aku baik-baikin nama Baim didepan Sinta. Dan lama-kelaman Sinta mulai tertarik pada Baim. Dan suatu hari yang tidak aku ketahui, saat Sinta tidak sedang bertugas, ternyata dia janjian sama Baim dan saat dia sudah masuk, akhirnya dia cerita sudah jadian sama Baim. Yes, rencanaku berhasil.
Setengah tahun lalu, penyakit ini semakin menginginkanku untuk menyerah. Kakiku yang kena. Dan sejak saat itu aku kurang bisa berlari. Jangankan berlari. Berjalan saja susah. Awalnya aku sangat syok, dan tidak bisa menerima semua ini. Beberapa hari aku hanya mengunci diriku dikamar. Sinta saja jarang aku suruh masuk. Hingga satu hari, Rani yang masuk ke kamarku. Dan memberi beberapa petuah. Entah apa yang dialami anak itu, sehingga kedewasaannya melampaui usianya yang baru tujuh tahun itu. Dan lagi-lagi berkat Rani, aku kembali mendapatkan semangat hidupku. Meskipun lebih sering memakai kursi roda, tapi aku suka muter-muter tempat ini. Menyaksikan anak-anak yang kurang beruntung sepertiku berlari-larian ditaman. Bermain petak umpet. Terdengar teriakan, tawa, canda yang terdengar. Dan itu yang menjadikan tempat yang tidak enak ini menjadi sedikit lebih nyaman untukku.
Tidak lupa yang selalu aku perhatikan adalah Rani. Dia selalu punya banyak hal yang membuatku kagum. Bahkan aku tidak malu untuk mengakui bahwa kedewasaanku, anak 18 tahun, kalah dengan kedewasaannya, anak berusia tujuh tahun. Pola pikirku kalah dengan dia. Semangatku pun awalnya kalah dari dia. Padahal aku lebih beruntung daripada dia. Tuhan sudah memberiku waktu 18 tahun untuk bisa hidup di surga dunianya. Sedang dia? Entah Tuhan memberinya waktu sampai kapan? Dan yang lebih membuatku salut adalah, meskipun Tuhan memberinya cobaan seberat ini, dia tidak pernah lupa untuk beribadah.
Satu lagi yang mengingatkanku akan Rani, saat dia selesai sholat Isya, aku mendatanginya. Saat itu posisiku sedang membenci Tuhan karena memberiku penyakit ini.
“Kakak tidak sholat?” Tanya Rani dengan muka polosnya.
“Tidak, Tuhan tidak adil. Kenapa aku dikasih cobaan seberat ini?” kataku kasar. “Kamu dikasih penyakit seperti itu, kenapa masih mau sholat Ran? Kamu nggak benci sama Tuhan?”
Dia tersenyum dan berkata sesuatu yang tak akan pernah kulupakan. “Mungkin takutnya Tuhan, kalau Rani lama-lama disurga duniaNya ini, nanti Rani banyak melakukan kesalahan, dan nggak bisa berada dideket Tuhan. Makanya Tuhan menginginkan Rani lebih cepet kak!” kata-katanya membuatku sangat malu. Dan pada akhirnya aku mengambil air wudlu dan kemudian melaksanakan sholat. Iya. Rani benar. Mungkin Tuhan memberi penyakit ini karena Dia ingin aku disisiNya lebih cepat. Sejak saat itu, aku tidak pernah lupa untuk menjalankan sholat. Terkadang jama’ah sama anak-anak yang lain.
Bulan Mei 2012. Ayah, bunda, dan Baim meminta ijin dari dokter agar aku bisa tinggal dirumah selama dua minggu, menjelang ulangtahunku ke 19. Dan karena kondisiku yang jarang kumat, akhirnya dokter mengijinkanku untuk pulang. Perlahan Baim memapahku masuk ke mobil, sedang ayah memasukan kursi rodaku ke bagasi mobil. Sebelum pergi, aku memeluk Rani. “Rani ingin apa, setelah kakak nanti balik kesini lagi?” tanyaku setelah melepas pelukanku ke Rani.
“Rani ingin kakak membawa bunga yang gede dan bagus kak, banyak mawar putihnya ya. Soalnya Rani suka mawar putih.” Kata Rani dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya. “O iya, janji ya kakak perginya cuma dua minggu.”
“Baik Ndan, siap laksanakan.” Kataku sambil membuat tanda hormat didepan Rani. Aku tersenyum. Rani juga tersenyum. Diikuti hiruk pikuk tawa anak-anak yang lain. Aku melambai pada yang lain. Dan wajah Rani, tidak bisa aku melupakannya.
Tiga minggu kemudian, ayah, bunda, dan Baim mengantarkanku kerumah keduaku ini. Telat dari perjanjianku dengan Rani. Baim mendorong kursi rodaku. Satu bucket besar mawar putih ada ditanganku. Aku meminta Baim untuk mengantarkanku mencari Rani. Aku mencarinya ditaman, tapi dia tidak ada. Aku bertanya pada anak-anak yang lain. Tapi tidak ada yang mau menjawab. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Sinta. “Rani dimana?” tanyaku cemas.
Sinta tersenyum dan berkata. “Dikamarnya, Nisa!”
“Im, ayo kekamarnya Rani. Nanti bunganya keburu layu nih.” Rengekku.
Dan kalau aku sudah merengek, Baim sudah tidak punya alasan untuk menolak. Lalu Baim kembali mendorong kursi rodaku menelusuri lorong-lorong tempat ini. Sampai disebuah pintu yang bertuliskan nama Rani, “Maharani Sasti”. Sinta membantu membuka pintu, Baim perlahan mendorong kursi rodaku ke kamar Rani. Bucket mawar putih yang sedari tadi aku pegang erat, tiba-tiba terlepas dari tanganku. Keringat dingin seakan mengucur dengan deras dari tubuhku. Aku ingin pingsan. Dan saat bangun nanti, aku berharap ini cuma mimpi. Tapi tidak! Ini bukan mimpi. Rani terbujur didepanku, dengan selang pernafasan dihidungnya. Selang infuse ditangannya. Dan banyak kabel yang menghubungkan dadanya dengan alat pendeteksi detak jantung. Perlahan airmataku menetes. Baim memegangi pundakku, seakan berkata “Sabar.”
“Tiga hari yang lalu, entah apa yang terjadi, Rani koleps. Dan dia tidak sadar sampai hari ini. Saat aku bersih-bersih dikamar ini, aku menemukan surat ini.” Sinta mengeluarkan selembar kertas berwarna merah muda gambar boneka.
Aku baca surat itu dengan isak yang tertahan.

Teruntuk kakak Nisa yang cantik
Kakak, Rani kangen banget sama kakak. Kok kakak belum balik kesini juga? Ini udah 2 minggu lebih 3 hari kak. Nggak sabar dibawain mawar putih sama kakak. Sebenarnya Rani ragu, apa Rani masih bisa melihat kakak membawa mawar putih itu untuk Rani. Tapi Rani tetep bakal nunggu kakak kok.
Salam sayang Rani untuk Kakak Nisa

“Karena pertimbangan surat itu, aku tidak berani untuk mencabut alat bantu pernafasannya Rani, Nis.” Jelas Sinta.
Aku meminta Baim mendekatkan kursi rodaku dengan tempat tidur Rani. Aku memegangi tangannya. Dan aku berbisik padanya. “Kakak udah disini Ran. Maafin kakak, telat pulang kesininya. Ini kakak bawa mawar putih pesenan kamu.” Saat menyadari mawarnya sudah tidak ditanganku, Baim mengambil mawar yang terjatuh tidak jauh dari pintu. Menyodorkan mawar itu kepadaku. Dan aku menaruh mawar itu di tangan Rani. Aku mencium tangan Rani. Kemudian mengangis. Diikuti Sinta dan Baim yang juga menangis.
Ini hari kedua aku menunggu Rani. Sekarang ini, aku tidak hanya ditemani oleh Baim dan Sinta, tapi disisi tempat tidur Rani yang lain, keluarganya menunggui Rani. Ada papa, mama, anak perempuan berusia sekitar 10 tahun yang menurut cerita Rani seperti kakaknya. Dan anak bayi berusia sekitar tiga tahun yang digendong mamanya Rani. Aku bisa menebak itu adiknya Rani.
Pukul 10.15 pagi, tanganku yang memegangi tangan kanan Rani, merasa seperti ada yang bergerak. Itu tangan Rani yang bergerak. Dia sadar. Sebuah senyuman tersungging dibibirku, saat Rani memanggil namaku. “Ran, ini mawar putih yang kakak janjikan. Dan maaf ya kakak telat pulangnya.”
Rani sedikit mengangguk. Dia lalu menatap keluarganya dan tersenyum. Dia mengedipkan matanya beberapa kali lalu menatap langit-langit kamarnya. Entah apa maksudnya. Namun beberapa menit kemudian barulah aku tahu apa yang dia maksud. Karena setelah kedipan itu, Ranipun akhirnya kembali kepelukan Tuhan. Dan kini mungkin seperti apa yang dia ucap. Dia ada disisi Tuhan. Bersama mawar putih dariku yang masih digenggamnya. Bersama senyum terakhir yang tidak pernah terlupakan olehku. Dia pergi bersama petuah-petuah dan kedewasaannya. Dan kini tinggal aku yang menunggu kapan Tuhan mengajakku pergi kembali ke singgasanaNya, dan kembali dipertemukan dengan Rani yang menggenggam sebucket mawar putih dariku. 

jogja, 28 Maret 2013

tak bermuara



Akankah sebuah perasaan itu memang dapat dibohongi? Salahkah jika aku berpura-pura bahagia saat kamu sudah bahagia, meski tidak bersamaku. Mungkin salah karena aku hanya berpura-pura. Tapi mungkin lebih baik, daripada aku mengatakan yang sebenarnya dan bisa menghancurkan semua. Oh aku tidak tahu.
Awalnya aku mengagumimu. Mungkin sampai beberapa waktu setelah itu. Namun semakin kesini, akankah kagum itu kini menjadi sebuah rasa cinta? Aku juga tidak tahu.
Jujur aku sangat bahagia saat kau didepanku. Saat kau mau berbagi cerita kepadaku tanpa harus aku minta. Saat kau mengacak jilbabku. Saat kau mengejekku. Saat kau tersenyum. Saat kau menyodorkan sebungkus carica didepanku. Dan intinya aku suka semua yang kamu lakukan. Kamu pasti tidak tahu itu. Iya dan aku tidak ingin kamu tahu.
Biarkan sajalah kekaguman ini hanya menjadi sebuah kagum yang tidak akan bermuara. Biarkan kagum ini mengalir, tanpa ada suatu pengharapan yang lebih. Biarkan semua berlalu apa adanya. Dan aku akan menikmati semua ini, sampai kamu  benar-benar pergi dari hidupku.
Pura-pura tersenyum saat kau menceritakan cintamu yang telah lalu didepanku itu sudah biasa. Pura-pura bahagia saat kau dekat dengan wanita lain itu juga sudah biasa. Tetap bisa tertawa saat kau sedang bercanda dengan para wanita itu, bukan aku. Benar-benar kepura-puraan didepanmu. Tanpa kamu tahu bagaimana sebenarnya dalam hati ini.
Terkadang ada beberapa sikapmu yang membuatku salah paham. Membuatku salah mengerti. Membuatku selalu punya harapan lebih yang pada akhirnya menghancurkanku. Ditambah kata mereka yang selalu menginginkan kita untuk bersama. Sebuah kebahagiaan yang membuatku terluka.
Terkadang sakit saat kamu bersamanya. Bersama dia yang aku tahu juga menginginkanmu. Namun aku pendam rasa ini sendiri. Bahkan mereka-sahabatku-tidak ada yang pernah tahu tentang rasa sakit ini. Aku selalu pura-pura bahagia. Karena memang inilah aku yang selalu hidup dalam kepura-puraan cinta.
Satu hari saat kau didepanku, menyanyikan beberapa lagu yang menjadi keinginanku. Saat itu sering kali pandangan kita bertemu. Tapi saat itupula, aku harus menahan kebahagiaan ini. Karena aku tidak mau kebahagiaan itu menyakitkanku lagi.
Tatapan matamu yang terhalang rintikan air hujan, selalu terbayang di benakku. Saat kau mengirim pesan singkat, dengan menyertakan namaku diawal kalimat, membuatku sangat bahagia. Hanya mereka-sahabatku-yang tahu bagaimana besar perasaan bahagiaku.
Kamu, orang yang menjadi satu-satunya alasan untuk menyulut semangatku. Namun semenjak waktu itu kau mengatakan akan pergi, kemarahan berkumpul diotakku. Mendadak aku marah dan kasar padamu. Mereka-teman yang ada di sana-seakan bingung akan tingkahku. Kenapa aku mendadak marah? Karena aku belum ingin kamu pergi. Aku masih membutuhkanmu untuk mewarnai hari-hariku.
Suatu hari aku mendengar kegelisahanmu akan cita-citamu. Ketidaknyamananmu berada dilingkungan sekitarmu sekarang. Membuatku menyadari sesuatu. Untuk apa aku marah saat kau akan pergi? Aku bukan siapa-siapamu. Dan kini aku mulai berpikir untuk membiarkanmu pergi. Untuk apa? Agar kamu bisa menggapai cita. Karena kini aku mulai benar-benar belajar apa itu mencintai. Dan mungkin inilah cinta yang sebenarnya. Dimana aku harus bisa merelakanmu pergi. Demi citamu. Demi kebahagiaanmu. Dan kini aku tidak dalam kepura-puraan. Karena pada akhirnya aku memang telah mencinta. Meski tanpa dicintai. Dan kini, biarkan cinta yang sesungguhnya ini tetap tidak bermuara.

jogja 6 april 2013