Aku masih terpaku menatap sosok itu.
Senyum ceria menghiasi setiap langkahnya. Dia berlari, diikuti salah seorang
temannya. Dia menatapku dan tersenyum. Lantas dia mendekatiku dan menarik
tanganku. “Kak, ayo ikut bermain.” Katanya.
“Tidak sayang. Kakak tidak bisa
berlari seperti kalian.” Kataku sambil tersenyum.
Dia hanya tersenyum dan kemudian
pergi melanjutkan bermain bersama temannya.
“Ayo Nisa, kita masuk ke kamar dulu.”
Kata salah seorang dari belakangku. Aku sudah hafal betul itu suara siapa.
Bagaimana rupa sang pemilik suara tersebut. Karena telah dua tahun ini, dialah
yang menjadi keluarga keduaku. Namanya Sinta. Seorang yang sangat cantik, baik,
ramah, tinggi. Dia seumuran denganku. Dia yang menjadi tempatku mengadu, dua tahun
terakhir ini. Hanya didepan dia, aku bisa menunjukan kelemahan, ketakutan, dan kepedihanku.
Setidaknya selama keluargaku yang sesungguhnya tidak kemari menemuiku.
Umurku sekarang 18 tahun, setidaknya
akan terus seperti itu, sebelum Dia datang dan menghentikan semua. Mengambil
apa yang pernah Dia berikan padaku. Menarikku kembali kedalam keabadianNya.
Tiga setengah tahun yang lalu, saat
usiaku 15 tahun. Sesuatu hal yang buruk itu terjadi. Aku pingsan saat mengikuti
pelajaran di sekolah. Aku dibawa ke UKS. Karena beberapa jam aku tidak sadar,
pihak sekolah membawaku ke rumah sakit. Mulai saat itu hidupku berubah. Dimana
masa-masa kebahagiaan itu berubah menjadi ketakutan yang luar biasa. Bunda
membawa selembar kertas putih sambil menangis. Beliau memelukku. Kakakku, Baim,
yang jarak umurnya denganku tiga tahun juga menangis disudut kamar rawat rumah
sakit. Ayah diam seribu bahasa disamping Baim. Dan aku tahu, dimana saat ayah
diam, disanalah ayah sedang menyembunyikan sebuah kesedihan.
Bunda memelukku semakin erat. Isaknya
semakin terdengar keras. Aku semakin bingung. Lalu perlahan ayah mendekatiku
dan bunda. Ayah memegangi kepalaku. “Ayah akan lakukan semua hal, asal kamu
bisa sembuh sayang.”
“Sembuh? Memang aku sakit apa ayah?”
tanyaku penasaran. Mungkin terdengar sedikit nada ketakutan dalam nada
bicaraku.
Hening.. Semua diam. Baim yang
biasanya usil dan tidak pernah bisa diam, mendadak menjadi Baim yang lain.
Dengan menahan isaknya, bunda
mengimbuhi. “Kamu kena kanker tulang sayang.” Bunda jadi semakin erat
memelukku. Dan semakin keras pula menangis.
Beberapa detik itulah yang membuat
hidupku berubah sampai saat ini. Karena aku sering pingsan tanpa sepengatahuan
ayah, bunda, dan Baim, ayah memasukan ku ke tempat ini. Bukan karena ayah ingin
mengusirku dari rumah. Hanya saja, bila dirumah, tidak ada yang bisa
mengurusku. Karena keadaanku yang semakin lama semakin memburuk. Dan aku mulai
butuh dokter yang siaga mengobatiku saat sakit itu mulai menyerang kembali.
Tentang Sinta, dia awalnya perawat
magang disini. Sejak pertama dia magang disini, aku sudah menyukainya. Makanya
aku meminta dokter untuk mempekerjakannya disini. Dan Sintapun mau.
Disini aku punya banyak teman yang
bernasib sama sepertiku. Anak kecil yang berlarian tadi, namanya Rani. Umurnya
baru tujuh tahun, tapi sejak kecil dia sudah divonis mengidap kanker otak. Dia
bahkan berada disini lebih lama dariku. Namun aku salut padanya. Dia selalu
tersenyum. Mungkin dia tidak pernah berpikir, bahwa beberapa saat lagi,
hidupnya akan berakhir. Atau mungkin dia tahu? Dan selama ini dia hanya ingin
menikmati sisa hidupnya? Entahlah-.
Dua tahun yang lalu, saat ayah,
bunda, dan Baim meninggalkanku ditempa ini. Saat aku menangis dikamar rawatku,
Rani datang membawa sebuah gambar. Dimana digambar itu ada lima orang. Dua
orang dewasa, satu bayi dalam gendongan perempuan dewasa, satu perempuan
sedikit besar, dengan rambut dikucir dua, dan satu anak kecil yang letaknya
sedikit menjauh dari keempat orang yang lain. “Ini mamaku kak. Ini papaku. Ini
adikku. Dan ini kakakku.” Katanya lembut, sambil menunjuk satu persatu orang
didalam gambar tersebut.
Aku mengusap airmataku. “Lantas yang
ini?” tanyaku menunjuk seorang anak yang posisinya sedikit jauh.
“Yang ini aku kak. Awalnya aku mikir
saat mama dan papaku menaruhku disini, berarti mereka membuangku. Tapi ternyata
tidak, aku disini demi kebaikanku sendiri kak. Itu kata dokter. Hehe.” Katanya
sambil tersenyum.
Aku terenyuh mendengar perkataan Rani
saat itu. Dan itulah yang menjadi tonggak awal semangatku berada disini. Rani
anak yang masih sekecil itu saja, bisa berpikir seperti itu, kenapa aku tidak??
Senyum Rani selalu menghiasi
hari-hariku disini. Perhatian Sinta yang sedemikian besar juga membuatku lebih
nyaman berada disini. Tiap akhir minggu keluargaku juga sering kesini. Sekedar
menjenguk atau membawakan makanan yang diperbolehkan dokter untuk ku makan.
Kalau Baim? Jangan ditanya. Bisa dua
hari sekali dia kesini. Bahkan suatu hari, pernah dia setiap hari kesini.
Alasannya bukan karena aku adiknya yang malang ini. Tapi karena dia lagi PDKT
sama Sinta.
Dan akhirnya aku punya inisiatif
untuk menjodohkan mereka. Selain disatu sisi Sinta jomblo, dia juga baik banget
sama aku. Dan aku juga udah srek
banget sama Sinta. Aku baik-baikin nama Baim didepan Sinta. Dan lama-kelaman
Sinta mulai tertarik pada Baim. Dan suatu hari yang tidak aku ketahui, saat
Sinta tidak sedang bertugas, ternyata dia janjian sama Baim dan saat dia sudah
masuk, akhirnya dia cerita sudah jadian sama Baim. Yes, rencanaku berhasil.
Setengah tahun lalu, penyakit ini
semakin menginginkanku untuk menyerah. Kakiku yang kena. Dan sejak saat itu aku
kurang bisa berlari. Jangankan berlari. Berjalan saja susah. Awalnya aku sangat
syok, dan tidak bisa menerima semua
ini. Beberapa hari aku hanya mengunci diriku dikamar. Sinta saja jarang aku
suruh masuk. Hingga satu hari, Rani yang masuk ke kamarku. Dan memberi beberapa
petuah. Entah apa yang dialami anak itu, sehingga kedewasaannya melampaui
usianya yang baru tujuh tahun itu. Dan lagi-lagi berkat Rani, aku kembali
mendapatkan semangat hidupku. Meskipun lebih sering memakai kursi roda, tapi
aku suka muter-muter tempat ini. Menyaksikan anak-anak yang kurang beruntung
sepertiku berlari-larian ditaman. Bermain petak umpet. Terdengar teriakan,
tawa, canda yang terdengar. Dan itu yang menjadikan tempat yang tidak enak ini
menjadi sedikit lebih nyaman untukku.
Tidak lupa yang selalu aku perhatikan
adalah Rani. Dia selalu punya banyak hal yang membuatku kagum. Bahkan aku tidak
malu untuk mengakui bahwa kedewasaanku, anak 18 tahun, kalah dengan
kedewasaannya, anak berusia tujuh tahun. Pola pikirku kalah dengan dia. Semangatku
pun awalnya kalah dari dia. Padahal aku lebih beruntung daripada dia. Tuhan
sudah memberiku waktu 18 tahun untuk bisa hidup di surga dunianya. Sedang dia?
Entah Tuhan memberinya waktu sampai kapan? Dan yang lebih membuatku salut
adalah, meskipun Tuhan memberinya cobaan seberat ini, dia tidak pernah lupa
untuk beribadah.
Satu lagi yang mengingatkanku akan
Rani, saat dia selesai sholat Isya, aku mendatanginya. Saat itu posisiku sedang
membenci Tuhan karena memberiku penyakit ini.
“Kakak tidak sholat?” Tanya Rani
dengan muka polosnya.
“Tidak, Tuhan tidak adil. Kenapa aku
dikasih cobaan seberat ini?” kataku kasar. “Kamu dikasih penyakit seperti itu,
kenapa masih mau sholat Ran? Kamu nggak benci sama Tuhan?”
Dia tersenyum dan berkata sesuatu
yang tak akan pernah kulupakan. “Mungkin takutnya Tuhan, kalau Rani lama-lama
disurga duniaNya ini, nanti Rani banyak melakukan kesalahan, dan nggak bisa
berada dideket Tuhan. Makanya Tuhan menginginkan Rani lebih cepet kak!”
kata-katanya membuatku sangat malu. Dan pada akhirnya aku mengambil air wudlu
dan kemudian melaksanakan sholat. Iya. Rani benar. Mungkin Tuhan memberi
penyakit ini karena Dia ingin aku disisiNya lebih cepat. Sejak saat itu, aku
tidak pernah lupa untuk menjalankan sholat. Terkadang jama’ah sama anak-anak
yang lain.
Bulan Mei 2012. Ayah, bunda, dan Baim
meminta ijin dari dokter agar aku bisa tinggal dirumah selama dua minggu,
menjelang ulangtahunku ke 19. Dan karena kondisiku yang jarang kumat, akhirnya
dokter mengijinkanku untuk pulang. Perlahan Baim memapahku masuk ke mobil,
sedang ayah memasukan kursi rodaku ke bagasi mobil. Sebelum pergi, aku memeluk
Rani. “Rani ingin apa, setelah kakak nanti balik kesini lagi?” tanyaku setelah
melepas pelukanku ke Rani.
“Rani ingin kakak membawa bunga yang
gede dan bagus kak, banyak mawar putihnya ya. Soalnya Rani suka mawar putih.”
Kata Rani dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya. “O iya, janji ya
kakak perginya cuma dua minggu.”
“Baik Ndan, siap laksanakan.” Kataku
sambil membuat tanda hormat didepan Rani. Aku tersenyum. Rani juga tersenyum.
Diikuti hiruk pikuk tawa anak-anak yang lain. Aku melambai pada yang lain. Dan
wajah Rani, tidak bisa aku melupakannya.
Tiga minggu kemudian, ayah, bunda,
dan Baim mengantarkanku kerumah keduaku ini. Telat dari perjanjianku dengan
Rani. Baim mendorong kursi rodaku. Satu bucket
besar mawar putih ada ditanganku. Aku meminta Baim untuk mengantarkanku mencari
Rani. Aku mencarinya ditaman, tapi dia tidak ada. Aku bertanya pada anak-anak
yang lain. Tapi tidak ada yang mau menjawab. Sampai akhirnya aku bertemu dengan
Sinta. “Rani dimana?” tanyaku cemas.
Sinta tersenyum dan berkata.
“Dikamarnya, Nisa!”
“Im, ayo kekamarnya Rani. Nanti
bunganya keburu layu nih.” Rengekku.
Dan kalau aku sudah merengek, Baim
sudah tidak punya alasan untuk menolak. Lalu Baim kembali mendorong kursi
rodaku menelusuri lorong-lorong tempat ini. Sampai disebuah pintu yang
bertuliskan nama Rani, “Maharani Sasti”. Sinta membantu membuka pintu, Baim
perlahan mendorong kursi rodaku ke kamar Rani. Bucket mawar putih yang sedari tadi aku pegang erat, tiba-tiba
terlepas dari tanganku. Keringat dingin seakan mengucur dengan deras dari
tubuhku. Aku ingin pingsan. Dan saat bangun nanti, aku berharap ini cuma mimpi.
Tapi tidak! Ini bukan mimpi. Rani terbujur didepanku, dengan selang pernafasan
dihidungnya. Selang infuse
ditangannya. Dan banyak kabel yang menghubungkan dadanya dengan alat pendeteksi
detak jantung. Perlahan airmataku menetes. Baim memegangi pundakku, seakan
berkata “Sabar.”
“Tiga hari yang lalu, entah apa yang
terjadi, Rani koleps. Dan dia tidak sadar sampai hari ini. Saat aku
bersih-bersih dikamar ini, aku menemukan surat ini.” Sinta mengeluarkan
selembar kertas berwarna merah muda gambar boneka.
Aku baca surat itu dengan isak yang
tertahan.
Teruntuk
kakak Nisa yang cantik
Kakak,
Rani kangen banget sama kakak. Kok kakak belum balik kesini juga? Ini udah 2
minggu lebih 3 hari kak. Nggak sabar dibawain mawar putih sama kakak.
Sebenarnya Rani ragu, apa Rani masih bisa melihat kakak membawa mawar putih itu
untuk Rani. Tapi Rani tetep bakal nunggu kakak kok.
Salam
sayang Rani untuk Kakak Nisa
“Karena pertimbangan surat itu, aku
tidak berani untuk mencabut alat bantu pernafasannya Rani, Nis.” Jelas Sinta.
Aku meminta Baim mendekatkan kursi
rodaku dengan tempat tidur Rani. Aku memegangi tangannya. Dan aku berbisik
padanya. “Kakak udah disini Ran. Maafin kakak, telat pulang kesininya. Ini
kakak bawa mawar putih pesenan kamu.” Saat menyadari mawarnya sudah tidak
ditanganku, Baim mengambil mawar yang terjatuh tidak jauh dari pintu.
Menyodorkan mawar itu kepadaku. Dan aku menaruh mawar itu di tangan Rani. Aku
mencium tangan Rani. Kemudian mengangis. Diikuti Sinta dan Baim yang juga
menangis.
Ini hari kedua aku menunggu Rani.
Sekarang ini, aku tidak hanya ditemani oleh Baim dan Sinta, tapi disisi tempat
tidur Rani yang lain, keluarganya menunggui Rani. Ada papa, mama, anak
perempuan berusia sekitar 10 tahun yang menurut cerita Rani seperti kakaknya.
Dan anak bayi berusia sekitar tiga tahun yang digendong mamanya Rani. Aku bisa
menebak itu adiknya Rani.
Pukul 10.15 pagi, tanganku yang
memegangi tangan kanan Rani, merasa seperti ada yang bergerak. Itu tangan Rani
yang bergerak. Dia sadar. Sebuah senyuman tersungging dibibirku, saat Rani
memanggil namaku. “Ran, ini mawar putih yang kakak janjikan. Dan maaf ya kakak
telat pulangnya.”
Rani sedikit mengangguk. Dia lalu
menatap keluarganya dan tersenyum. Dia mengedipkan matanya beberapa kali lalu
menatap langit-langit kamarnya. Entah apa maksudnya. Namun beberapa menit
kemudian barulah aku tahu apa yang dia maksud. Karena setelah kedipan itu,
Ranipun akhirnya kembali kepelukan Tuhan. Dan kini mungkin seperti apa yang dia
ucap. Dia ada disisi Tuhan. Bersama mawar putih dariku yang masih digenggamnya.
Bersama senyum terakhir yang tidak pernah terlupakan olehku. Dia pergi bersama
petuah-petuah dan kedewasaannya. Dan kini tinggal aku yang menunggu kapan Tuhan
mengajakku pergi kembali ke singgasanaNya, dan kembali dipertemukan dengan Rani
yang menggenggam sebucket mawar putih
dariku.
jogja, 28 Maret 2013