Minggu, 05 Januari 2014

rendra



Pernahkah kamu berada dalam situasi dimana kamu begitu bahagia hanya bisa membaca namanya? Tanpa kamu tahu bagaimana rupa dan kepribadian orang tersebut. Pernahkah kamu merasa begitu menanti dia membalas pesanmu? Tanpa kamu tahu apakah dia menginginkan untuk mengenalmu atau tidak. Pernahkah kamu merasa gugup yang sangat, meskipun kamu hanya membaca pesannya melalui monitor komputer? Bahkan kamu tidak tahu bagaimana perasaannya saat dia membalas pesanmu. Pernahkah kamu menjadi rajin membuka jejaring sosial hanya demi mengetahui aktifitasnya? Padahal selama ini kamu adalah tipe orang yang tidak peduli akan jejaring sosialmu. Jika memang iya, lantas akan kamu namakan apa semua perasaan ini? apakah kamu akan menamakan ini cinta? Lantas cinta yang seperti apa? Yang bisa datang sebegitu mudahnya.
Beberapa bulan yang lalu aku menjumpai namanya di friend request facebookku. Kemudian aku mengkonfirmasinya. Aku pikir, semua akan berhenti disitu. Yah, seperti teman-teman yang lainnya. Hanya menginginkan dikonfirmasi tanpa ada kelanjutan dari pertemanan itu. Namun tidak untuk dia. Sebulan setelah konfirmasi itu, aku benar-benar meninggalkan dunia sosial media itu. Sampai akhirnya aku iseng membuka facebookku dan aku menjumpai namanya mengirim pesan di facebook, tanggal 16 November 2013. Sementara aku membuka facebook baru tanggal 14 Desember 2013. Tahukah apa yang aku rasakan pada saat menjumpai namanya? Tiba-tiba aku merasa gugup dan entah mengapa aku hanya bisa terdiam memandangi pesannya. Setelah beberapa menit terdiam, barulah aku berani membalas pesannya.
Semenjak hari itu, aku rajin membuka facebook. Tahukah apa yang aku nanti? Yap, nama dia ada di pesan. Tapi yang aku temui bukan nama dia. melainkan nama teman-temanku hanya mengirim tugas dan meminta tugas. Terus berlangsung seperti itu. Puncaknya, tanggal 22 Desember 2013. Aku kembali menjumpai namanya di pesan facebookku. Kembali aku merasa ada yang berbeda. Sebuah perasaan yang tidak biasa. bagaimana bisa? Aku bahkan tidak tahu bagaimana wajahnya? Mungkinkah aku diguna-guna? Ah tidak, sekarang bukan zaman seperti itu. Aku hanya mempercayai Tuhan tentunya punya rencana yang indah untuk semua ini. semua terbawa mimpi di malam itu.
Selama ini yang tahu tentang orang itu dan semua perasaanku, hanya sahabatku, Ana. Ana notabene juga sekampus dengan orang itu. Hanya saja dia tidak mengenalnya. Sampai suatu malam,  aku membuka facebooknya, sekilas melihat fotonya dan daaammmmm, Ana mengenalnya. Ups, tahu orangnya dan orang tersebut adalah teman dari temannya Ana. Beberapa kali Ana dan dia sudah bertemu. Namun hanya sekedar menyapa, tanpa Ana tahu siapa namanya. Kini Ana tahu siapa namanya dan kini aku juga tahu bahwa orang itu benar-benar nyata, ada.
Dan aku hanya menunggu dan berdo’a, semoga Tuhan masih memiliki rencana yang indah, untukku dan dia, Rendra-

Jogjakarta, 27 Desember 2013

Rabu, 09 Oktober 2013

rumah retak



Rumah Retak
Aku terlahir disebuah keluarga kecil yang sederhana. Dirumah yang dibangun berkat kebaikan hati seorang Cina. Dengan ukuran sembilan kali sembilan meter yang memiliki filosofi dimana rumah ini dibangun, tahun 1999.
Aku tinggal bersama kedua orangtuaku dan seorang kakak laki-lakiku. Sebenarnya aku memiliki satu kakak perempuan, hanya saja dia sudah menikah dan tidak tinggal bersama kami lagi.
Ayahku bekerja sebagai tukang batu di pabrik. Sementara ibuku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Penghasilan ayahku terkadang hanya cukup untuk makan kami selama satu minggu. Jika tidak mencukupi, kami sekeluarga hanya makan nasi dan garam. Jika beruntung kami bisa makan nasi dengan kecap. Namun kami cukup bahagia, karena kami bisa makan bersama di bawah rumah sederhana ini.
Rumah yang telah bertahun-tahun melindungi kami dari terik matahari. Melindungi kami dari kejamnya kegelapan. Dan melindungi kami dari hujan yang terkadang tiada merasa bersalah mengeroyok kami.
Usiaku dan abangku terpaut sembilan tahun. Jarak yang sangat jauh, namun aku bahagia karena dia-terkadang- bisa melindungiku.
Saat masih kecil, aku dan kakak laki-lakiku sering berebut menonton televisi yang berukuran 14 inch dan gambarnya masih hitam putih. Sesekali aku menangis karena kalah berebut. Terlebih lagi abangku tidak pernah mau mengalah. Namun aku sangat merindukannya bila dia tidak dirumah.
Suatu hari saat dia sudah dewasa, dia harus ke Semarang untuk menyelesaikan kewajibannya. Saat itu dia menyalamiku, dia berpesan, “Sudah mau ujian, sekolahnya yang rajin. Belajar yang rajin. Biar lulus dan dapat sekolah yang bagus.” Sambil membelai rambut kusutku.
Hanya sebuah anggukan yang aku berikan, sembari aku menahan tangisku. Saat dia sudah meninggalkan pelataran rumah, aku berlari kekamar mandi dan menumpahkan tangisku disana. Tangisku, aku bawa hingga ke sekolah. Hal itu mengundang tanya teman-temanku. Namun aku tak mampu menjawab pertanyaan mereka. Aku hanya tertunduk, terdiam. Saat itu aku kelas enam SD.
Hari-hari setelah kepergian kakakku, aku melewatinya penuh dengan harapan, agar hari cepat berlalu, abangku cepat kembali kerumah, dan kembali berebut televisi denganku.
Setelah ujian nasional, aku dinyatakan lulus dan diterima disalah satu SMP favorit di kotaku. Aku kemudian menghubungi abangku, tepat tengah malam. Karena dia hanya bisa menelpon saat tengah malam. Saat itu jadi kali pertama aku mendengar decak kebanggaan dari mulutnya. Dan aku bahagia.
***
Dahulu abangku sering mengajakku untuk mencari ikan disungai. Sepulangnya aku dari sekolah, dia mengajakku memancing. Dia membawa sebuah joran kecil berwarna hijau, milik keluarga kami satu-satunya dan memintaku membawa sebuah kantong plastik hitam, untuk menaruh ikannya.
Kami berjalan menyusuri sungai, di bawah terik matahari yang menyinari tiada ampun. Sebuah senyum tersungging dibibir kami, saat seekor ikan tersangkut dimata pancing joran kami. Sorak kegembiraan kami panjatkan bersamaan.
Namun kini semua berbeda, saat aku beranjak dewasa dan abangku sudah bekerja. Sekarang dia sudah menjadi seseorang yang punya pangkat. Kami tidak lagi berebut televisi hitam putih 14 inch. Karena dia sudah bisa membeli dua buah televisi, 21 inch dan 17 inch yang sudah bisa membedakan mana biru, mana merah, mana kuning, mana hijau, tidak lagi hitam putih.
Satu televisi dia taruh di kamarnya. Menjadikan kamar berukuran empat kali empat meter itu sebagai istana kecilnya di dalam rumah sederhana kami.
Semenjak abangku bekerja dan sering memberi ibuku uang, ibuku selalu memperlakukanku berbeda dengannya. Abangku diperlakukan bak putra raja, sedangkan aku hanya sebagai putri angkat raja. Setiap makanan yang dianggap enak selalu ibu taruh di dalam toples, “Ini buat abangmu.”
Setiap abangku pulang bekerja, ibuku selalu bangun dan menyajikannya secangkir teh hangat. Sedangkan setiap aku pulang, ibuku menyajikan selusin makian yang terkadang membuat kupingku pengang.
Suatu hari aku sempat berkata pada ibuku, “Anaknya ibu, ya abang. Kalau aku anaknya bapak!”
Ibuku menangis, ia marah karena aku berkata seperti itu. Lantas aku menjelaskan kenapa aku bisa berkata seperti itu. “Apa-apa abang, apa-apa abang. Itu yang bikin aku mikir kalau anaknya ibu, ya cuma abang.” Airmata mengalir dari pelupuk mataku. Hati ini terasa tertimpa batu kekecewaan. Dalam kerongkongan ini serasa tersumbat amarah yang membuatku sesak bernafas.
Ibu memelukku dan aku membalas pelukan itu. Untuk beberapa hari ibu berubah. Memperlakukanku sama dengan abangku. Namun tidak bertahan lama, karena kebiasaannya yang dulu kembali lagi.
Aku frustasi dan pada akhirnya aku hanya berusaha menikmati hidupku seberapapun getirnya. Setidaknya masih ada ayah yang memperhatikanku.
***
Ayahku kini memiliki bisnis pabrik batu sendiri. Kami tidak perlu lagi makan berlauk garam atau kecap. Karena gaji ayah sudah cukup untuk membuat kami makan dengan lauk ayam. Namun akibatnya aku jarang bertemu dengan ayahku.
Ibuku masih sama. Masih menjadi seorang ibu rumah tangga. Hanya saja sekarang dia lebih sering berkumpul dengan ibu-ibu kompleks. Hanya untuk arisan atau hanya sekedar untuk bergosip ria. Entahlah, aku tidak mengerti.
Aku sendiri sibuk dengan dunia pendidikan. Ini yang selalu diinginkan oleh ayahku. Aku harus menuntut ilmu. Aku masih ingat, saat aku hendak ujian untuk memasuki perguruan tinggi, ayahku yang mengantarkanku. Dia menungguku menyelesaikan ujian. Sebenarnya aku sudah malas untuk berpikir. Aku ingin bekerja agar bisa membantu perekonomian keluarga. Tidak lagi menyusahkan ayah dan ibuku. Namun ayah tidak mengijinkan.
Aku hanya asal-asalan dalam mengerjakan soal ujian. Namun aku lolos masuk perguruan tinggi.
Hari pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi tiba. Aku masih ingat, saat itu malam Minggu. Aku masih sibuk mencoba log in ke situs pengumuman. Sangat lama sekali untuk bisa masuk kesitus itu. Mungkin puluhan ribu orang juga sedang berebut masuk, hanya sekedar untuk melihat apakah mereka mendapat ucapan “Selamat” atau ucapan “Anda Belum Berhasil”. Tiba-tiba telepon selulerku bergetar. Aku menjumpai nomor sepupuku, segera aku membuka pesan yang dikirimkannya. Aku tertegun, terdiam, perlahan membaca pesan itu kembali. Kemudian aku membalas pesan itu untuk memastikan apa yang baru saja aku baca. Dada ini serasa sesak, seperti terpenuhi udara, namun entah udara kebahagiaan atau kekecewaan. Aku diterima di PTN itu, namun bukan di  jurusan yang aku inginkan. Sementara sepupuku yang notebene jauh lebih pintar dariku belum diterima.
Apa ini mimpi? Saat itu aku bersama dengan teman laki-lakiku. Kemudian dia mengucapkan selamat. Dan aku baru tersadar bahwa ini memang bukan mimpi. Ayahku menelpon dan bertanya tentang pengumuman itu. Saat aku bilang aku diterima, aku mendengar nada bicaranya yang terdengar senang. Lantas ayahku memintaku memberitahu abangku.
Aku hanya mengirimkan pesan kepada abangku bahwasanya aku diterima di PTN favorit dikotaku. Dan dia hanya membalas, “Alhamdulillah.”
Semua terasa berbeda dari saat aku memberitahu abangku, aku diterima di SMP favorit, yang bahkan baru terjadi enam tahun lalu. Aku tidak tahu, apakah saat dia mendengar aku diterima di PTN, dia senang, atau hanya biasa-biasa saja, atau bahkan tidak senang. Entahlah-
Keesokan harinya, ayahku sibuk membaca koran untuk memastikan namaku ada didaftar peserta yang diterima. Binar-binar kebahagiaan amat jelas dimata ayahku yang sudah senja, saat ia menemukan namaku diantara ribuan nama calon mahasiswa yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri.
Aku bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan ayahku. Lantas akupun memupuskan harapanku untuk bekerja. Aku memenuhi permintaan ayahku untuk melanjutkan menuntut ilmu.
Hari-hariku disibukkan oleh kegiatan-kegiatan di kampus. Pulang kuliah aku hanya menghabiskan waktuku di kamar. Karena terlalu lelah. Menjadikan kamar kecilku ini juga menjadi rumah kecil di dalam rumah.
***
Kini keluargaku jarang berkumpul. Jarang kami makan bersama. Aku dan abangku juga jarang bertemu. Meskipun kami satu rumah. Pagi saat dia berangkat kerja, aku belum terbangun dari dunia mimpiku. Dan saat aku pulang, abangku sudah didalam istananya terbalut selimut yang hangat. Dunia kami sudah berbeda.
Satu permasalahan yang menjadikan keluargaku semakin saling menjauh, semakin meretak. Saat abangku mulai dekat dengan seorang wanita beranak dua. Hal itu ditentang oleh kedua orangtuaku. Namun abangku tetap bersikeras untuk berteman dengan wanita itu. Kini abangku seperti memiliki keluarga baru. Uang gajinya kini ia habiskan untuk menuruti permintaan dua anak wanita itu. Pernah satu hari aku melihat ibuku menangis di dapur. Dengan perlahan dan sesenggukan, ibuku menceritakan apa yang dirasakannya. Aku hanya terdiam, namun dalam hati aku mengumpat.
Ganti hari, aku mendengar keluhan yang sama pula dari kakak perempuanku. Dia menceritakan kerinduannya akan abangku dengan mata berkaca-kaca. Namun aku tahu, dia pasti enggan untuk meneteskan airmatanya karena disana ada aku. Sebenarnya airmataku juga hampir meleleh, namun aku tahan. Aku bahkan tidak berani menatap kakakku. Yang selalu terngiang sampai saat ini hanyalah perkataannya, “Aku udah nggak punya adik cowok lagi kok, dik. Dulu kalau dia mau ada apa-apa minta bantuanku. Sekarang dia udah punya saudara baru. Bukan kita, dik.”
Rasanya aku terprovokasi oleh perkataan kakakku, kemudian aku berpikir sejenak, dan ya, memang benar. Kemudian aku juga berkata dengan lirih namun tegas. “Aku juga sudah tidak memiliki kakak laki-laki lagi, mbak.”
Perlahan aku mulai membenci abangku. Ditambah lagi saat ayahku menegur hubungan abangku dengan wanita itu. Hanya satu kalimat yang sangat membekas dalam otakku dan hatiku. Yang dimana jika aku mengingat kata-kata itu aku ingin melompat dan menjatuhkan satu kepalan tanganku ke wajah abangku. Dan menarik rambut setan perempuan penghancur rumah kami itu.
“Mau jadi apa kamu? Masih muda, nyari perempuan yang belum punya anak masih bisa. Kamu itu punya pangkat. Banyak perempuan yang mau sama kamu. Kenapa memilih perempuan seperti itu?” Gertak ayahku.
“Kalau, Bapak sama Ibu nggak terima, biar aku yang keluar dari rumah.” Ayahku langsung meninggalkan abangku dan ibuku yang menangis di ruang keluarga.
Aku hanya bisa mendengarkan percakapan itu sembari menahan tangis dari dalam kamarku. Namun aku tak kuasa, tangisku meledak seketika.
Kamarku dan kamar abangku hanya berbatas sebuah dinding yang lebarnya tidak lebih dari duapuluh sentimeter. Namun aku seperti merasa sudah berbeda rumah dengannya. Canda dan tawa yang dulu kami lewatkan bersama kini sudah tidak ada. Bahkan sangat sulit diharapkan ada.
Bahkan jika aku sedang termenung diruang keluarga, khayalku mengawang dimasa-masa sulitku dan abangku. Tiga tahun lalu, orangtuaku hampir bercerai. Karena hadirnya orang ketiga di kehidupan ayahku.
***
Satu pagi aku sudah siap berangkat sekolah. Abangku masih terlelap diperaduannya. Tiba-tiba pertengkaran ayah dan ibuku, pecah. Telepon seluler ayahku melayang dikamar mandi. Pintu rumah ditutup dengan tenaga ayah yang sangat kuat. Dan aku tersimpuh di ruang keluarga.
Aku menutup telingaku, airmata membahasi pipiku dan jilbab yang baru saja aku kenakan. Tangisku pecah. Tiba-tiba abangku menghampiriku dan memelukku. Dia membisikan beberapa kata, mencoba meredam tangisku. Dia kemudian memapahku dan mengantarkanku ke sekolah.
Dengan airmata yang menetes dari kelopak mata abangku, dia mengeluarkan sepeda motornya dan menyalakannya. Dia menatapku, kemudian aku langsung naik di motornya. Tanpa alas kaki dia mengantarku ke sekolah. Sepanjang perjalanan, airmata kami menetes. Ditambah dengan gerimis yang tiba-tiba turun dari langit yang memang sudah mendung sedaritadi.
Abangku menghentikan motornya, mengambil jas hujan, dan kemudian memakaikannya ketubuhku. Sementara gerimis menghakiminya tiada ampun, hingga dia basah kuyup.
Sampai digerbang sekolah, dia hanya memintaku untuk fokus ke ujian. Karena hari itu bertepatan dengan ujian kenaikan kelas SMA.
“Dik, yang tadi jangan dipikir dulu. Nanti aku nyuruh Mbak buat jemput kamu.” Katanya dengan airmata yang masih saja mengalir dengan perlahan namun jelas. Meskipun sedikit tersamarkan dengan air gerimis yang perlahan menjadi hujan.
Aku mengangguk. Aku sudah tidak mampu lagi berkata apapun. Setelah melepas jas hujan, aku langsung berjalan menuju kedalam gerbang sekolah. Sesekali aku kembali menengok ke arah abangku, yang mulai menyalakan sepeda motornya dan hendak kembali kerumah.
Kejadian di pagi yang suram itu, masih amat jelas terbayang di pikiranku. Bahkan setiap kali aku mengingatnya, airmataku tumpah membasahi pipiku. Itulah mungkin kali pertama abangku memelukku-dan mungkin kali terakhir.
Pada masa-masa itu adalah masa kedekatanku dan abangku yang paling dekat. Sedekat apapun kami, kami tidak pernah sedekat masa-masa kelam itu. Bahkan pernah satu kali abangku berkata, “Jika Bapak dan Ibu masih seperti itu, Abang bakal nyari kontrakan. Kamu boleh ikut Abang, atau ikut Mbak, Dik.”
“Iya, Bang.”
Masa-masa itu adalah masa-masa tersulit yang pernah aku alami. Pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi hanya aku dengarkan dari dalam kamar yang kukunci rapat. Beberapakali bantalku yang sudah kusam kupakai untuk menutup telingaku. Karena pertengkaran itu semakin keras. Sekali suara piring mencium lantaipun turut aku dengar. Aku semakin takut.
Hal-hal demikian membuatku tidak ingin berlama-lama dirumah. Bahkan beberapa kali pada masa-masa sulit itu, aku kabur dari rumah. Hingga akhirnya ayah dan ibuku menyerah. Keluarga kami terselamatkan dari perpecahan.
***
Namun tidak pernah ada kapal yang benar-benar bisa selamat dari badai. Karena kali ini kapal kami kembali diterpa badai kehidupan yang sangat dahsyat. Hadirnya perempuan beranak dua itu. Perempuan yang kini menculik perhatian salah satu awak kapal kami. Dia telah mengambil abangku dari rumah kami.
Berhari-hari seusai pertengkaran orangtuaku dengan abangku, aku berpapasan dengan abangku. Namun sekalipun kami tidak bertegur sapa. Rumah ini benar-benar telah retak. Jika diperbolehkan aku hanya ingin meminta rumahku seperti yang dahulu. Sederhana, namun penuh dengan kasih sayang. Penuh dengan kehangatan. Tak apa makan tidak dengan ayam. Hanya makan nasi dan garam, namun kami bahagia. Tidak ada rumah dalam rumah seperti ini. Berkumpul diruang keluarga saat kami bersama adalah sebuah kerinduan yang amat menyiksa batin dan perasaan. Dan kini andai saja aku bisa bicara dengan wanita itu, aku hanya ingin memohon kepadanya untuk mengembalikan abangku yang telah direnggutnya dari keluargaku.


Jogjakarta, 12 Juli 2013

Jumat, 05 Juli 2013

Mawar Putih Untuk Rani



Aku masih terpaku menatap sosok itu. Senyum ceria menghiasi setiap langkahnya. Dia berlari, diikuti salah seorang temannya. Dia menatapku dan tersenyum. Lantas dia mendekatiku dan menarik tanganku. “Kak, ayo ikut bermain.” Katanya.
“Tidak sayang. Kakak tidak bisa berlari seperti kalian.” Kataku sambil tersenyum.
Dia hanya tersenyum dan kemudian pergi melanjutkan bermain bersama temannya.
“Ayo Nisa, kita masuk ke kamar dulu.” Kata salah seorang dari belakangku. Aku sudah hafal betul itu suara siapa. Bagaimana rupa sang pemilik suara tersebut. Karena telah dua tahun ini, dialah yang menjadi keluarga keduaku. Namanya Sinta. Seorang yang sangat cantik, baik, ramah, tinggi. Dia seumuran denganku. Dia yang menjadi tempatku mengadu, dua tahun terakhir ini. Hanya didepan dia, aku bisa menunjukan kelemahan, ketakutan, dan kepedihanku. Setidaknya selama keluargaku yang sesungguhnya tidak kemari menemuiku.
Umurku sekarang 18 tahun, setidaknya akan terus seperti itu, sebelum Dia datang dan menghentikan semua. Mengambil apa yang pernah Dia berikan padaku. Menarikku kembali kedalam keabadianNya.
Tiga setengah tahun yang lalu, saat usiaku 15 tahun. Sesuatu hal yang buruk itu terjadi. Aku pingsan saat mengikuti pelajaran di sekolah. Aku dibawa ke UKS. Karena beberapa jam aku tidak sadar, pihak sekolah membawaku ke rumah sakit. Mulai saat itu hidupku berubah. Dimana masa-masa kebahagiaan itu berubah menjadi ketakutan yang luar biasa. Bunda membawa selembar kertas putih sambil menangis. Beliau memelukku. Kakakku, Baim, yang jarak umurnya denganku tiga tahun juga menangis disudut kamar rawat rumah sakit. Ayah diam seribu bahasa disamping Baim. Dan aku tahu, dimana saat ayah diam, disanalah ayah sedang menyembunyikan sebuah kesedihan.
Bunda memelukku semakin erat. Isaknya semakin terdengar keras. Aku semakin bingung. Lalu perlahan ayah mendekatiku dan bunda. Ayah memegangi kepalaku. “Ayah akan lakukan semua hal, asal kamu bisa sembuh sayang.”
“Sembuh? Memang aku sakit apa ayah?” tanyaku penasaran. Mungkin terdengar sedikit nada ketakutan dalam nada bicaraku.
Hening.. Semua diam. Baim yang biasanya usil dan tidak pernah bisa diam, mendadak menjadi Baim yang lain.
Dengan menahan isaknya, bunda mengimbuhi. “Kamu kena kanker tulang sayang.” Bunda jadi semakin erat memelukku. Dan semakin keras pula menangis.
Beberapa detik itulah yang membuat hidupku berubah sampai saat ini. Karena aku sering pingsan tanpa sepengatahuan ayah, bunda, dan Baim, ayah memasukan ku ke tempat ini. Bukan karena ayah ingin mengusirku dari rumah. Hanya saja, bila dirumah, tidak ada yang bisa mengurusku. Karena keadaanku yang semakin lama semakin memburuk. Dan aku mulai butuh dokter yang siaga mengobatiku saat sakit itu mulai menyerang kembali.
Tentang Sinta, dia awalnya perawat magang disini. Sejak pertama dia magang disini, aku sudah menyukainya. Makanya aku meminta dokter untuk mempekerjakannya disini. Dan Sintapun mau.
Disini aku punya banyak teman yang bernasib sama sepertiku. Anak kecil yang berlarian tadi, namanya Rani. Umurnya baru tujuh tahun, tapi sejak kecil dia sudah divonis mengidap kanker otak. Dia bahkan berada disini lebih lama dariku. Namun aku salut padanya. Dia selalu tersenyum. Mungkin dia tidak pernah berpikir, bahwa beberapa saat lagi, hidupnya akan berakhir. Atau mungkin dia tahu? Dan selama ini dia hanya ingin menikmati sisa hidupnya? Entahlah-.
Dua tahun yang lalu, saat ayah, bunda, dan Baim meninggalkanku ditempa ini. Saat aku menangis dikamar rawatku, Rani datang membawa sebuah gambar. Dimana digambar itu ada lima orang. Dua orang dewasa, satu bayi dalam gendongan perempuan dewasa, satu perempuan sedikit besar, dengan rambut dikucir dua, dan satu anak kecil yang letaknya sedikit menjauh dari keempat orang yang lain. “Ini mamaku kak. Ini papaku. Ini adikku. Dan ini kakakku.” Katanya lembut, sambil menunjuk satu persatu orang didalam gambar tersebut.
Aku mengusap airmataku. “Lantas yang ini?” tanyaku menunjuk seorang anak yang posisinya sedikit jauh.
“Yang ini aku kak. Awalnya aku mikir saat mama dan papaku menaruhku disini, berarti mereka membuangku. Tapi ternyata tidak, aku disini demi kebaikanku sendiri kak. Itu kata dokter. Hehe.” Katanya sambil tersenyum.
Aku terenyuh mendengar perkataan Rani saat itu. Dan itulah yang menjadi tonggak awal semangatku berada disini. Rani anak yang masih sekecil itu saja, bisa berpikir seperti itu, kenapa aku tidak??
Senyum Rani selalu menghiasi hari-hariku disini. Perhatian Sinta yang sedemikian besar juga membuatku lebih nyaman berada disini. Tiap akhir minggu keluargaku juga sering kesini. Sekedar menjenguk atau membawakan makanan yang diperbolehkan dokter untuk ku makan.
Kalau Baim? Jangan ditanya. Bisa dua hari sekali dia kesini. Bahkan suatu hari, pernah dia setiap hari kesini. Alasannya bukan karena aku adiknya yang malang ini. Tapi karena dia lagi PDKT sama Sinta.
Dan akhirnya aku punya inisiatif untuk menjodohkan mereka. Selain disatu sisi Sinta jomblo, dia juga baik banget sama aku. Dan aku juga udah srek banget sama Sinta. Aku baik-baikin nama Baim didepan Sinta. Dan lama-kelaman Sinta mulai tertarik pada Baim. Dan suatu hari yang tidak aku ketahui, saat Sinta tidak sedang bertugas, ternyata dia janjian sama Baim dan saat dia sudah masuk, akhirnya dia cerita sudah jadian sama Baim. Yes, rencanaku berhasil.
Setengah tahun lalu, penyakit ini semakin menginginkanku untuk menyerah. Kakiku yang kena. Dan sejak saat itu aku kurang bisa berlari. Jangankan berlari. Berjalan saja susah. Awalnya aku sangat syok, dan tidak bisa menerima semua ini. Beberapa hari aku hanya mengunci diriku dikamar. Sinta saja jarang aku suruh masuk. Hingga satu hari, Rani yang masuk ke kamarku. Dan memberi beberapa petuah. Entah apa yang dialami anak itu, sehingga kedewasaannya melampaui usianya yang baru tujuh tahun itu. Dan lagi-lagi berkat Rani, aku kembali mendapatkan semangat hidupku. Meskipun lebih sering memakai kursi roda, tapi aku suka muter-muter tempat ini. Menyaksikan anak-anak yang kurang beruntung sepertiku berlari-larian ditaman. Bermain petak umpet. Terdengar teriakan, tawa, canda yang terdengar. Dan itu yang menjadikan tempat yang tidak enak ini menjadi sedikit lebih nyaman untukku.
Tidak lupa yang selalu aku perhatikan adalah Rani. Dia selalu punya banyak hal yang membuatku kagum. Bahkan aku tidak malu untuk mengakui bahwa kedewasaanku, anak 18 tahun, kalah dengan kedewasaannya, anak berusia tujuh tahun. Pola pikirku kalah dengan dia. Semangatku pun awalnya kalah dari dia. Padahal aku lebih beruntung daripada dia. Tuhan sudah memberiku waktu 18 tahun untuk bisa hidup di surga dunianya. Sedang dia? Entah Tuhan memberinya waktu sampai kapan? Dan yang lebih membuatku salut adalah, meskipun Tuhan memberinya cobaan seberat ini, dia tidak pernah lupa untuk beribadah.
Satu lagi yang mengingatkanku akan Rani, saat dia selesai sholat Isya, aku mendatanginya. Saat itu posisiku sedang membenci Tuhan karena memberiku penyakit ini.
“Kakak tidak sholat?” Tanya Rani dengan muka polosnya.
“Tidak, Tuhan tidak adil. Kenapa aku dikasih cobaan seberat ini?” kataku kasar. “Kamu dikasih penyakit seperti itu, kenapa masih mau sholat Ran? Kamu nggak benci sama Tuhan?”
Dia tersenyum dan berkata sesuatu yang tak akan pernah kulupakan. “Mungkin takutnya Tuhan, kalau Rani lama-lama disurga duniaNya ini, nanti Rani banyak melakukan kesalahan, dan nggak bisa berada dideket Tuhan. Makanya Tuhan menginginkan Rani lebih cepet kak!” kata-katanya membuatku sangat malu. Dan pada akhirnya aku mengambil air wudlu dan kemudian melaksanakan sholat. Iya. Rani benar. Mungkin Tuhan memberi penyakit ini karena Dia ingin aku disisiNya lebih cepat. Sejak saat itu, aku tidak pernah lupa untuk menjalankan sholat. Terkadang jama’ah sama anak-anak yang lain.
Bulan Mei 2012. Ayah, bunda, dan Baim meminta ijin dari dokter agar aku bisa tinggal dirumah selama dua minggu, menjelang ulangtahunku ke 19. Dan karena kondisiku yang jarang kumat, akhirnya dokter mengijinkanku untuk pulang. Perlahan Baim memapahku masuk ke mobil, sedang ayah memasukan kursi rodaku ke bagasi mobil. Sebelum pergi, aku memeluk Rani. “Rani ingin apa, setelah kakak nanti balik kesini lagi?” tanyaku setelah melepas pelukanku ke Rani.
“Rani ingin kakak membawa bunga yang gede dan bagus kak, banyak mawar putihnya ya. Soalnya Rani suka mawar putih.” Kata Rani dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya. “O iya, janji ya kakak perginya cuma dua minggu.”
“Baik Ndan, siap laksanakan.” Kataku sambil membuat tanda hormat didepan Rani. Aku tersenyum. Rani juga tersenyum. Diikuti hiruk pikuk tawa anak-anak yang lain. Aku melambai pada yang lain. Dan wajah Rani, tidak bisa aku melupakannya.
Tiga minggu kemudian, ayah, bunda, dan Baim mengantarkanku kerumah keduaku ini. Telat dari perjanjianku dengan Rani. Baim mendorong kursi rodaku. Satu bucket besar mawar putih ada ditanganku. Aku meminta Baim untuk mengantarkanku mencari Rani. Aku mencarinya ditaman, tapi dia tidak ada. Aku bertanya pada anak-anak yang lain. Tapi tidak ada yang mau menjawab. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Sinta. “Rani dimana?” tanyaku cemas.
Sinta tersenyum dan berkata. “Dikamarnya, Nisa!”
“Im, ayo kekamarnya Rani. Nanti bunganya keburu layu nih.” Rengekku.
Dan kalau aku sudah merengek, Baim sudah tidak punya alasan untuk menolak. Lalu Baim kembali mendorong kursi rodaku menelusuri lorong-lorong tempat ini. Sampai disebuah pintu yang bertuliskan nama Rani, “Maharani Sasti”. Sinta membantu membuka pintu, Baim perlahan mendorong kursi rodaku ke kamar Rani. Bucket mawar putih yang sedari tadi aku pegang erat, tiba-tiba terlepas dari tanganku. Keringat dingin seakan mengucur dengan deras dari tubuhku. Aku ingin pingsan. Dan saat bangun nanti, aku berharap ini cuma mimpi. Tapi tidak! Ini bukan mimpi. Rani terbujur didepanku, dengan selang pernafasan dihidungnya. Selang infuse ditangannya. Dan banyak kabel yang menghubungkan dadanya dengan alat pendeteksi detak jantung. Perlahan airmataku menetes. Baim memegangi pundakku, seakan berkata “Sabar.”
“Tiga hari yang lalu, entah apa yang terjadi, Rani koleps. Dan dia tidak sadar sampai hari ini. Saat aku bersih-bersih dikamar ini, aku menemukan surat ini.” Sinta mengeluarkan selembar kertas berwarna merah muda gambar boneka.
Aku baca surat itu dengan isak yang tertahan.

Teruntuk kakak Nisa yang cantik
Kakak, Rani kangen banget sama kakak. Kok kakak belum balik kesini juga? Ini udah 2 minggu lebih 3 hari kak. Nggak sabar dibawain mawar putih sama kakak. Sebenarnya Rani ragu, apa Rani masih bisa melihat kakak membawa mawar putih itu untuk Rani. Tapi Rani tetep bakal nunggu kakak kok.
Salam sayang Rani untuk Kakak Nisa

“Karena pertimbangan surat itu, aku tidak berani untuk mencabut alat bantu pernafasannya Rani, Nis.” Jelas Sinta.
Aku meminta Baim mendekatkan kursi rodaku dengan tempat tidur Rani. Aku memegangi tangannya. Dan aku berbisik padanya. “Kakak udah disini Ran. Maafin kakak, telat pulang kesininya. Ini kakak bawa mawar putih pesenan kamu.” Saat menyadari mawarnya sudah tidak ditanganku, Baim mengambil mawar yang terjatuh tidak jauh dari pintu. Menyodorkan mawar itu kepadaku. Dan aku menaruh mawar itu di tangan Rani. Aku mencium tangan Rani. Kemudian mengangis. Diikuti Sinta dan Baim yang juga menangis.
Ini hari kedua aku menunggu Rani. Sekarang ini, aku tidak hanya ditemani oleh Baim dan Sinta, tapi disisi tempat tidur Rani yang lain, keluarganya menunggui Rani. Ada papa, mama, anak perempuan berusia sekitar 10 tahun yang menurut cerita Rani seperti kakaknya. Dan anak bayi berusia sekitar tiga tahun yang digendong mamanya Rani. Aku bisa menebak itu adiknya Rani.
Pukul 10.15 pagi, tanganku yang memegangi tangan kanan Rani, merasa seperti ada yang bergerak. Itu tangan Rani yang bergerak. Dia sadar. Sebuah senyuman tersungging dibibirku, saat Rani memanggil namaku. “Ran, ini mawar putih yang kakak janjikan. Dan maaf ya kakak telat pulangnya.”
Rani sedikit mengangguk. Dia lalu menatap keluarganya dan tersenyum. Dia mengedipkan matanya beberapa kali lalu menatap langit-langit kamarnya. Entah apa maksudnya. Namun beberapa menit kemudian barulah aku tahu apa yang dia maksud. Karena setelah kedipan itu, Ranipun akhirnya kembali kepelukan Tuhan. Dan kini mungkin seperti apa yang dia ucap. Dia ada disisi Tuhan. Bersama mawar putih dariku yang masih digenggamnya. Bersama senyum terakhir yang tidak pernah terlupakan olehku. Dia pergi bersama petuah-petuah dan kedewasaannya. Dan kini tinggal aku yang menunggu kapan Tuhan mengajakku pergi kembali ke singgasanaNya, dan kembali dipertemukan dengan Rani yang menggenggam sebucket mawar putih dariku. 

jogja, 28 Maret 2013