Rumah Retak
Aku terlahir disebuah keluarga kecil yang sederhana.
Dirumah yang dibangun berkat kebaikan hati seorang Cina. Dengan ukuran sembilan
kali sembilan meter yang memiliki filosofi dimana rumah ini dibangun, tahun
1999.
Aku tinggal bersama kedua orangtuaku dan seorang kakak
laki-lakiku. Sebenarnya aku memiliki satu kakak perempuan, hanya saja dia sudah
menikah dan tidak tinggal bersama kami lagi.
Ayahku bekerja sebagai tukang batu di pabrik.
Sementara ibuku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Penghasilan ayahku
terkadang hanya cukup untuk makan kami selama satu minggu. Jika tidak
mencukupi, kami sekeluarga hanya makan nasi dan garam. Jika beruntung kami bisa
makan nasi dengan kecap. Namun kami cukup bahagia, karena kami bisa makan
bersama di bawah rumah sederhana ini.
Rumah yang telah bertahun-tahun melindungi kami dari
terik matahari. Melindungi kami dari kejamnya kegelapan. Dan melindungi kami
dari hujan yang terkadang tiada merasa bersalah mengeroyok kami.
Usiaku dan abangku terpaut sembilan tahun. Jarak yang
sangat jauh, namun aku bahagia karena dia-terkadang- bisa melindungiku.
Saat masih kecil, aku dan kakak laki-lakiku sering
berebut menonton televisi yang berukuran 14 inch
dan gambarnya masih hitam putih. Sesekali aku menangis karena kalah berebut.
Terlebih lagi abangku tidak pernah mau mengalah. Namun aku sangat merindukannya
bila dia tidak dirumah.
Suatu hari saat dia sudah dewasa, dia harus ke
Semarang untuk menyelesaikan kewajibannya. Saat itu dia menyalamiku, dia
berpesan, “Sudah mau ujian, sekolahnya yang rajin. Belajar yang rajin. Biar
lulus dan dapat sekolah yang bagus.” Sambil membelai rambut kusutku.
Hanya sebuah anggukan yang aku berikan, sembari aku menahan
tangisku. Saat dia sudah meninggalkan pelataran rumah, aku berlari kekamar
mandi dan menumpahkan tangisku disana. Tangisku, aku bawa hingga ke sekolah. Hal
itu mengundang tanya teman-temanku. Namun aku tak mampu menjawab pertanyaan
mereka. Aku hanya tertunduk, terdiam. Saat itu aku kelas enam SD.
Hari-hari setelah kepergian kakakku, aku melewatinya
penuh dengan harapan, agar hari cepat berlalu, abangku cepat kembali kerumah,
dan kembali berebut televisi denganku.
Setelah ujian nasional, aku dinyatakan lulus dan
diterima disalah satu SMP favorit di kotaku. Aku kemudian menghubungi abangku,
tepat tengah malam. Karena dia hanya bisa menelpon saat tengah malam. Saat itu
jadi kali pertama aku mendengar decak kebanggaan dari mulutnya. Dan aku
bahagia.
***
Dahulu abangku sering mengajakku untuk mencari ikan
disungai. Sepulangnya aku dari sekolah, dia mengajakku memancing. Dia membawa
sebuah joran kecil berwarna hijau, milik keluarga kami satu-satunya dan memintaku
membawa sebuah kantong plastik hitam, untuk menaruh ikannya.
Kami berjalan menyusuri sungai, di bawah terik
matahari yang menyinari tiada ampun. Sebuah senyum tersungging dibibir kami,
saat seekor ikan tersangkut dimata pancing joran kami. Sorak kegembiraan kami
panjatkan bersamaan.
Namun kini semua berbeda, saat aku beranjak dewasa dan
abangku sudah bekerja. Sekarang dia sudah menjadi seseorang yang punya pangkat.
Kami tidak lagi berebut televisi hitam putih 14 inch. Karena dia sudah bisa membeli dua buah televisi, 21 inch dan 17 inch yang sudah bisa membedakan mana biru, mana merah, mana kuning,
mana hijau, tidak lagi hitam putih.
Satu televisi dia taruh di kamarnya. Menjadikan kamar
berukuran empat kali empat meter itu sebagai istana kecilnya di dalam rumah
sederhana kami.
Semenjak abangku bekerja dan sering memberi ibuku
uang, ibuku selalu memperlakukanku berbeda dengannya. Abangku diperlakukan bak
putra raja, sedangkan aku hanya sebagai putri angkat raja. Setiap makanan yang
dianggap enak selalu ibu taruh di dalam toples, “Ini buat abangmu.”
Setiap abangku pulang bekerja, ibuku selalu bangun dan
menyajikannya secangkir teh hangat. Sedangkan setiap aku pulang, ibuku
menyajikan selusin makian yang terkadang membuat kupingku pengang.
Suatu hari aku sempat berkata pada ibuku, “Anaknya
ibu, ya abang. Kalau aku anaknya bapak!”
Ibuku menangis, ia marah karena aku berkata seperti
itu. Lantas aku menjelaskan kenapa aku bisa berkata seperti itu. “Apa-apa
abang, apa-apa abang. Itu yang bikin aku mikir kalau anaknya ibu, ya cuma
abang.” Airmata mengalir dari pelupuk mataku. Hati ini terasa tertimpa batu
kekecewaan. Dalam kerongkongan ini serasa tersumbat amarah yang membuatku sesak
bernafas.
Ibu memelukku dan aku membalas pelukan itu. Untuk
beberapa hari ibu berubah. Memperlakukanku sama dengan abangku. Namun tidak
bertahan lama, karena kebiasaannya yang dulu kembali lagi.
Aku frustasi dan pada akhirnya aku hanya berusaha
menikmati hidupku seberapapun getirnya. Setidaknya masih ada ayah yang
memperhatikanku.
***
Ayahku kini memiliki bisnis pabrik batu sendiri. Kami
tidak perlu lagi makan berlauk garam atau kecap. Karena gaji ayah sudah cukup
untuk membuat kami makan dengan lauk ayam. Namun akibatnya aku jarang bertemu
dengan ayahku.
Ibuku masih sama. Masih menjadi seorang ibu rumah
tangga. Hanya saja sekarang dia lebih sering berkumpul dengan ibu-ibu kompleks.
Hanya untuk arisan atau hanya sekedar untuk bergosip ria. Entahlah, aku tidak
mengerti.
Aku sendiri sibuk dengan dunia pendidikan. Ini yang
selalu diinginkan oleh ayahku. Aku harus menuntut ilmu. Aku masih ingat, saat
aku hendak ujian untuk memasuki perguruan tinggi, ayahku yang mengantarkanku.
Dia menungguku menyelesaikan ujian. Sebenarnya aku sudah malas untuk berpikir.
Aku ingin bekerja agar bisa membantu perekonomian keluarga. Tidak lagi menyusahkan
ayah dan ibuku. Namun ayah tidak mengijinkan.
Aku hanya asal-asalan dalam mengerjakan soal ujian.
Namun aku lolos masuk perguruan tinggi.
Hari pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi tiba. Aku
masih ingat, saat itu malam Minggu. Aku masih sibuk mencoba log in ke situs pengumuman. Sangat lama
sekali untuk bisa masuk kesitus itu. Mungkin puluhan ribu orang juga sedang
berebut masuk, hanya sekedar untuk melihat apakah mereka mendapat ucapan “Selamat”
atau ucapan “Anda Belum Berhasil”. Tiba-tiba telepon selulerku bergetar. Aku
menjumpai nomor sepupuku, segera aku membuka pesan yang dikirimkannya. Aku
tertegun, terdiam, perlahan membaca pesan itu kembali. Kemudian aku membalas
pesan itu untuk memastikan apa yang baru saja aku baca. Dada ini serasa sesak,
seperti terpenuhi udara, namun entah udara kebahagiaan atau kekecewaan. Aku
diterima di PTN itu, namun bukan di
jurusan yang aku inginkan. Sementara sepupuku yang notebene jauh lebih pintar dariku belum diterima.
Apa ini mimpi? Saat itu aku bersama dengan teman
laki-lakiku. Kemudian dia mengucapkan selamat. Dan aku baru tersadar bahwa ini
memang bukan mimpi. Ayahku menelpon dan bertanya tentang pengumuman itu. Saat
aku bilang aku diterima, aku mendengar nada bicaranya yang terdengar senang.
Lantas ayahku memintaku memberitahu abangku.
Aku hanya mengirimkan pesan kepada abangku bahwasanya
aku diterima di PTN favorit dikotaku. Dan dia hanya membalas, “Alhamdulillah.”
Semua terasa berbeda dari saat aku memberitahu
abangku, aku diterima di SMP favorit, yang bahkan baru terjadi enam tahun lalu.
Aku tidak tahu, apakah saat dia mendengar aku diterima di PTN, dia senang, atau
hanya biasa-biasa saja, atau bahkan tidak senang. Entahlah-
Keesokan harinya, ayahku sibuk membaca koran untuk
memastikan namaku ada didaftar peserta yang diterima. Binar-binar kebahagiaan
amat jelas dimata ayahku yang sudah senja, saat ia menemukan namaku diantara
ribuan nama calon mahasiswa yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri.
Aku bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan ayahku.
Lantas akupun memupuskan harapanku untuk bekerja. Aku memenuhi permintaan
ayahku untuk melanjutkan menuntut ilmu.
Hari-hariku disibukkan oleh kegiatan-kegiatan di
kampus. Pulang kuliah aku hanya menghabiskan waktuku di kamar. Karena terlalu
lelah. Menjadikan kamar kecilku ini juga menjadi rumah kecil di dalam rumah.
***
Kini keluargaku jarang berkumpul. Jarang kami makan
bersama. Aku dan abangku juga jarang bertemu. Meskipun kami satu rumah. Pagi
saat dia berangkat kerja, aku belum terbangun dari dunia mimpiku. Dan saat aku
pulang, abangku sudah didalam istananya terbalut selimut yang hangat. Dunia
kami sudah berbeda.
Satu permasalahan yang menjadikan keluargaku semakin
saling menjauh, semakin meretak. Saat abangku mulai dekat dengan seorang wanita
beranak dua. Hal itu ditentang oleh kedua orangtuaku. Namun abangku tetap
bersikeras untuk berteman dengan wanita itu. Kini abangku seperti memiliki
keluarga baru. Uang gajinya kini ia habiskan untuk menuruti permintaan dua anak
wanita itu. Pernah satu hari aku melihat ibuku menangis di dapur. Dengan
perlahan dan sesenggukan, ibuku menceritakan apa yang dirasakannya. Aku hanya
terdiam, namun dalam hati aku mengumpat.
Ganti hari, aku mendengar keluhan yang sama pula dari
kakak perempuanku. Dia menceritakan kerinduannya akan abangku dengan mata
berkaca-kaca. Namun aku tahu, dia pasti enggan untuk meneteskan airmatanya
karena disana ada aku. Sebenarnya airmataku juga hampir meleleh, namun aku
tahan. Aku bahkan tidak berani menatap kakakku. Yang selalu terngiang sampai
saat ini hanyalah perkataannya, “Aku udah nggak punya adik cowok lagi kok, dik.
Dulu kalau dia mau ada apa-apa minta bantuanku. Sekarang dia udah punya saudara
baru. Bukan kita, dik.”
Rasanya aku terprovokasi oleh perkataan kakakku,
kemudian aku berpikir sejenak, dan ya, memang benar. Kemudian aku juga berkata
dengan lirih namun tegas. “Aku juga sudah tidak memiliki kakak laki-laki lagi,
mbak.”
Perlahan aku mulai membenci abangku. Ditambah lagi
saat ayahku menegur hubungan abangku dengan wanita itu. Hanya satu kalimat yang
sangat membekas dalam otakku dan hatiku. Yang dimana jika aku mengingat
kata-kata itu aku ingin melompat dan menjatuhkan satu kepalan tanganku ke wajah
abangku. Dan menarik rambut setan perempuan penghancur rumah kami itu.
“Mau jadi apa kamu? Masih muda, nyari perempuan yang
belum punya anak masih bisa. Kamu itu punya pangkat. Banyak perempuan yang mau
sama kamu. Kenapa memilih perempuan seperti itu?” Gertak ayahku.
“Kalau, Bapak sama Ibu nggak terima, biar aku yang
keluar dari rumah.” Ayahku langsung meninggalkan abangku dan ibuku yang
menangis di ruang keluarga.
Aku hanya bisa mendengarkan percakapan itu sembari
menahan tangis dari dalam kamarku. Namun aku tak kuasa, tangisku meledak
seketika.
Kamarku dan kamar abangku hanya berbatas sebuah
dinding yang lebarnya tidak lebih dari duapuluh sentimeter. Namun aku seperti
merasa sudah berbeda rumah dengannya. Canda dan tawa yang dulu kami lewatkan
bersama kini sudah tidak ada. Bahkan sangat sulit diharapkan ada.
Bahkan jika aku sedang termenung diruang keluarga,
khayalku mengawang dimasa-masa sulitku dan abangku. Tiga tahun lalu, orangtuaku
hampir bercerai. Karena hadirnya orang ketiga di kehidupan ayahku.
***
Satu pagi aku sudah siap berangkat sekolah. Abangku
masih terlelap diperaduannya. Tiba-tiba pertengkaran ayah dan ibuku, pecah.
Telepon seluler ayahku melayang dikamar mandi. Pintu rumah ditutup dengan
tenaga ayah yang sangat kuat. Dan aku tersimpuh di ruang keluarga.
Aku menutup telingaku, airmata membahasi pipiku dan
jilbab yang baru saja aku kenakan. Tangisku pecah. Tiba-tiba abangku
menghampiriku dan memelukku. Dia membisikan beberapa kata, mencoba meredam
tangisku. Dia kemudian memapahku dan mengantarkanku ke sekolah.
Dengan airmata yang menetes dari kelopak mata abangku,
dia mengeluarkan sepeda motornya dan menyalakannya. Dia menatapku, kemudian aku
langsung naik di motornya. Tanpa alas kaki dia mengantarku ke sekolah.
Sepanjang perjalanan, airmata kami menetes. Ditambah dengan gerimis yang
tiba-tiba turun dari langit yang memang sudah mendung sedaritadi.
Abangku menghentikan motornya, mengambil jas hujan,
dan kemudian memakaikannya ketubuhku. Sementara gerimis menghakiminya tiada
ampun, hingga dia basah kuyup.
Sampai digerbang sekolah, dia hanya memintaku untuk
fokus ke ujian. Karena hari itu bertepatan dengan ujian kenaikan kelas SMA.
“Dik, yang tadi jangan dipikir dulu. Nanti aku nyuruh
Mbak buat jemput kamu.” Katanya dengan airmata yang masih saja mengalir dengan
perlahan namun jelas. Meskipun sedikit tersamarkan dengan air gerimis yang
perlahan menjadi hujan.
Aku mengangguk. Aku sudah tidak mampu lagi berkata
apapun. Setelah melepas jas hujan, aku langsung berjalan menuju kedalam gerbang
sekolah. Sesekali aku kembali menengok ke arah abangku, yang mulai menyalakan
sepeda motornya dan hendak kembali kerumah.
Kejadian di pagi yang suram itu, masih amat jelas
terbayang di pikiranku. Bahkan setiap kali aku mengingatnya, airmataku tumpah
membasahi pipiku. Itulah mungkin kali pertama abangku memelukku-dan mungkin
kali terakhir.
Pada masa-masa itu adalah masa kedekatanku dan abangku
yang paling dekat. Sedekat apapun kami, kami tidak pernah sedekat masa-masa
kelam itu. Bahkan pernah satu kali abangku berkata, “Jika Bapak dan Ibu masih
seperti itu, Abang bakal nyari kontrakan. Kamu boleh ikut Abang, atau ikut
Mbak, Dik.”
“Iya, Bang.”
Masa-masa itu adalah masa-masa tersulit yang pernah
aku alami. Pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi hanya aku dengarkan dari
dalam kamar yang kukunci rapat. Beberapakali bantalku yang sudah kusam kupakai
untuk menutup telingaku. Karena pertengkaran itu semakin keras. Sekali suara
piring mencium lantaipun turut aku dengar. Aku semakin takut.
Hal-hal demikian membuatku tidak ingin berlama-lama
dirumah. Bahkan beberapa kali pada masa-masa sulit itu, aku kabur dari rumah.
Hingga akhirnya ayah dan ibuku menyerah. Keluarga kami terselamatkan dari
perpecahan.
***
Namun tidak pernah ada kapal yang benar-benar bisa
selamat dari badai. Karena kali ini kapal kami kembali diterpa badai kehidupan
yang sangat dahsyat. Hadirnya perempuan beranak dua itu. Perempuan yang kini
menculik perhatian salah satu awak kapal kami. Dia telah mengambil abangku dari
rumah kami.
Berhari-hari seusai pertengkaran orangtuaku dengan
abangku, aku berpapasan dengan abangku. Namun sekalipun kami tidak bertegur
sapa. Rumah ini benar-benar telah retak. Jika diperbolehkan aku hanya ingin
meminta rumahku seperti yang dahulu. Sederhana, namun penuh dengan kasih
sayang. Penuh dengan kehangatan. Tak apa makan tidak dengan ayam. Hanya makan
nasi dan garam, namun kami bahagia. Tidak ada rumah dalam rumah seperti ini.
Berkumpul diruang keluarga saat kami bersama adalah sebuah kerinduan yang amat
menyiksa batin dan perasaan. Dan kini andai saja aku bisa bicara dengan wanita
itu, aku hanya ingin memohon kepadanya untuk mengembalikan abangku yang telah
direnggutnya dari keluargaku.
Jogjakarta, 12 Juli 2013