Rabu, 09 Oktober 2013

rumah retak



Rumah Retak
Aku terlahir disebuah keluarga kecil yang sederhana. Dirumah yang dibangun berkat kebaikan hati seorang Cina. Dengan ukuran sembilan kali sembilan meter yang memiliki filosofi dimana rumah ini dibangun, tahun 1999.
Aku tinggal bersama kedua orangtuaku dan seorang kakak laki-lakiku. Sebenarnya aku memiliki satu kakak perempuan, hanya saja dia sudah menikah dan tidak tinggal bersama kami lagi.
Ayahku bekerja sebagai tukang batu di pabrik. Sementara ibuku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Penghasilan ayahku terkadang hanya cukup untuk makan kami selama satu minggu. Jika tidak mencukupi, kami sekeluarga hanya makan nasi dan garam. Jika beruntung kami bisa makan nasi dengan kecap. Namun kami cukup bahagia, karena kami bisa makan bersama di bawah rumah sederhana ini.
Rumah yang telah bertahun-tahun melindungi kami dari terik matahari. Melindungi kami dari kejamnya kegelapan. Dan melindungi kami dari hujan yang terkadang tiada merasa bersalah mengeroyok kami.
Usiaku dan abangku terpaut sembilan tahun. Jarak yang sangat jauh, namun aku bahagia karena dia-terkadang- bisa melindungiku.
Saat masih kecil, aku dan kakak laki-lakiku sering berebut menonton televisi yang berukuran 14 inch dan gambarnya masih hitam putih. Sesekali aku menangis karena kalah berebut. Terlebih lagi abangku tidak pernah mau mengalah. Namun aku sangat merindukannya bila dia tidak dirumah.
Suatu hari saat dia sudah dewasa, dia harus ke Semarang untuk menyelesaikan kewajibannya. Saat itu dia menyalamiku, dia berpesan, “Sudah mau ujian, sekolahnya yang rajin. Belajar yang rajin. Biar lulus dan dapat sekolah yang bagus.” Sambil membelai rambut kusutku.
Hanya sebuah anggukan yang aku berikan, sembari aku menahan tangisku. Saat dia sudah meninggalkan pelataran rumah, aku berlari kekamar mandi dan menumpahkan tangisku disana. Tangisku, aku bawa hingga ke sekolah. Hal itu mengundang tanya teman-temanku. Namun aku tak mampu menjawab pertanyaan mereka. Aku hanya tertunduk, terdiam. Saat itu aku kelas enam SD.
Hari-hari setelah kepergian kakakku, aku melewatinya penuh dengan harapan, agar hari cepat berlalu, abangku cepat kembali kerumah, dan kembali berebut televisi denganku.
Setelah ujian nasional, aku dinyatakan lulus dan diterima disalah satu SMP favorit di kotaku. Aku kemudian menghubungi abangku, tepat tengah malam. Karena dia hanya bisa menelpon saat tengah malam. Saat itu jadi kali pertama aku mendengar decak kebanggaan dari mulutnya. Dan aku bahagia.
***
Dahulu abangku sering mengajakku untuk mencari ikan disungai. Sepulangnya aku dari sekolah, dia mengajakku memancing. Dia membawa sebuah joran kecil berwarna hijau, milik keluarga kami satu-satunya dan memintaku membawa sebuah kantong plastik hitam, untuk menaruh ikannya.
Kami berjalan menyusuri sungai, di bawah terik matahari yang menyinari tiada ampun. Sebuah senyum tersungging dibibir kami, saat seekor ikan tersangkut dimata pancing joran kami. Sorak kegembiraan kami panjatkan bersamaan.
Namun kini semua berbeda, saat aku beranjak dewasa dan abangku sudah bekerja. Sekarang dia sudah menjadi seseorang yang punya pangkat. Kami tidak lagi berebut televisi hitam putih 14 inch. Karena dia sudah bisa membeli dua buah televisi, 21 inch dan 17 inch yang sudah bisa membedakan mana biru, mana merah, mana kuning, mana hijau, tidak lagi hitam putih.
Satu televisi dia taruh di kamarnya. Menjadikan kamar berukuran empat kali empat meter itu sebagai istana kecilnya di dalam rumah sederhana kami.
Semenjak abangku bekerja dan sering memberi ibuku uang, ibuku selalu memperlakukanku berbeda dengannya. Abangku diperlakukan bak putra raja, sedangkan aku hanya sebagai putri angkat raja. Setiap makanan yang dianggap enak selalu ibu taruh di dalam toples, “Ini buat abangmu.”
Setiap abangku pulang bekerja, ibuku selalu bangun dan menyajikannya secangkir teh hangat. Sedangkan setiap aku pulang, ibuku menyajikan selusin makian yang terkadang membuat kupingku pengang.
Suatu hari aku sempat berkata pada ibuku, “Anaknya ibu, ya abang. Kalau aku anaknya bapak!”
Ibuku menangis, ia marah karena aku berkata seperti itu. Lantas aku menjelaskan kenapa aku bisa berkata seperti itu. “Apa-apa abang, apa-apa abang. Itu yang bikin aku mikir kalau anaknya ibu, ya cuma abang.” Airmata mengalir dari pelupuk mataku. Hati ini terasa tertimpa batu kekecewaan. Dalam kerongkongan ini serasa tersumbat amarah yang membuatku sesak bernafas.
Ibu memelukku dan aku membalas pelukan itu. Untuk beberapa hari ibu berubah. Memperlakukanku sama dengan abangku. Namun tidak bertahan lama, karena kebiasaannya yang dulu kembali lagi.
Aku frustasi dan pada akhirnya aku hanya berusaha menikmati hidupku seberapapun getirnya. Setidaknya masih ada ayah yang memperhatikanku.
***
Ayahku kini memiliki bisnis pabrik batu sendiri. Kami tidak perlu lagi makan berlauk garam atau kecap. Karena gaji ayah sudah cukup untuk membuat kami makan dengan lauk ayam. Namun akibatnya aku jarang bertemu dengan ayahku.
Ibuku masih sama. Masih menjadi seorang ibu rumah tangga. Hanya saja sekarang dia lebih sering berkumpul dengan ibu-ibu kompleks. Hanya untuk arisan atau hanya sekedar untuk bergosip ria. Entahlah, aku tidak mengerti.
Aku sendiri sibuk dengan dunia pendidikan. Ini yang selalu diinginkan oleh ayahku. Aku harus menuntut ilmu. Aku masih ingat, saat aku hendak ujian untuk memasuki perguruan tinggi, ayahku yang mengantarkanku. Dia menungguku menyelesaikan ujian. Sebenarnya aku sudah malas untuk berpikir. Aku ingin bekerja agar bisa membantu perekonomian keluarga. Tidak lagi menyusahkan ayah dan ibuku. Namun ayah tidak mengijinkan.
Aku hanya asal-asalan dalam mengerjakan soal ujian. Namun aku lolos masuk perguruan tinggi.
Hari pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi tiba. Aku masih ingat, saat itu malam Minggu. Aku masih sibuk mencoba log in ke situs pengumuman. Sangat lama sekali untuk bisa masuk kesitus itu. Mungkin puluhan ribu orang juga sedang berebut masuk, hanya sekedar untuk melihat apakah mereka mendapat ucapan “Selamat” atau ucapan “Anda Belum Berhasil”. Tiba-tiba telepon selulerku bergetar. Aku menjumpai nomor sepupuku, segera aku membuka pesan yang dikirimkannya. Aku tertegun, terdiam, perlahan membaca pesan itu kembali. Kemudian aku membalas pesan itu untuk memastikan apa yang baru saja aku baca. Dada ini serasa sesak, seperti terpenuhi udara, namun entah udara kebahagiaan atau kekecewaan. Aku diterima di PTN itu, namun bukan di  jurusan yang aku inginkan. Sementara sepupuku yang notebene jauh lebih pintar dariku belum diterima.
Apa ini mimpi? Saat itu aku bersama dengan teman laki-lakiku. Kemudian dia mengucapkan selamat. Dan aku baru tersadar bahwa ini memang bukan mimpi. Ayahku menelpon dan bertanya tentang pengumuman itu. Saat aku bilang aku diterima, aku mendengar nada bicaranya yang terdengar senang. Lantas ayahku memintaku memberitahu abangku.
Aku hanya mengirimkan pesan kepada abangku bahwasanya aku diterima di PTN favorit dikotaku. Dan dia hanya membalas, “Alhamdulillah.”
Semua terasa berbeda dari saat aku memberitahu abangku, aku diterima di SMP favorit, yang bahkan baru terjadi enam tahun lalu. Aku tidak tahu, apakah saat dia mendengar aku diterima di PTN, dia senang, atau hanya biasa-biasa saja, atau bahkan tidak senang. Entahlah-
Keesokan harinya, ayahku sibuk membaca koran untuk memastikan namaku ada didaftar peserta yang diterima. Binar-binar kebahagiaan amat jelas dimata ayahku yang sudah senja, saat ia menemukan namaku diantara ribuan nama calon mahasiswa yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri.
Aku bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan ayahku. Lantas akupun memupuskan harapanku untuk bekerja. Aku memenuhi permintaan ayahku untuk melanjutkan menuntut ilmu.
Hari-hariku disibukkan oleh kegiatan-kegiatan di kampus. Pulang kuliah aku hanya menghabiskan waktuku di kamar. Karena terlalu lelah. Menjadikan kamar kecilku ini juga menjadi rumah kecil di dalam rumah.
***
Kini keluargaku jarang berkumpul. Jarang kami makan bersama. Aku dan abangku juga jarang bertemu. Meskipun kami satu rumah. Pagi saat dia berangkat kerja, aku belum terbangun dari dunia mimpiku. Dan saat aku pulang, abangku sudah didalam istananya terbalut selimut yang hangat. Dunia kami sudah berbeda.
Satu permasalahan yang menjadikan keluargaku semakin saling menjauh, semakin meretak. Saat abangku mulai dekat dengan seorang wanita beranak dua. Hal itu ditentang oleh kedua orangtuaku. Namun abangku tetap bersikeras untuk berteman dengan wanita itu. Kini abangku seperti memiliki keluarga baru. Uang gajinya kini ia habiskan untuk menuruti permintaan dua anak wanita itu. Pernah satu hari aku melihat ibuku menangis di dapur. Dengan perlahan dan sesenggukan, ibuku menceritakan apa yang dirasakannya. Aku hanya terdiam, namun dalam hati aku mengumpat.
Ganti hari, aku mendengar keluhan yang sama pula dari kakak perempuanku. Dia menceritakan kerinduannya akan abangku dengan mata berkaca-kaca. Namun aku tahu, dia pasti enggan untuk meneteskan airmatanya karena disana ada aku. Sebenarnya airmataku juga hampir meleleh, namun aku tahan. Aku bahkan tidak berani menatap kakakku. Yang selalu terngiang sampai saat ini hanyalah perkataannya, “Aku udah nggak punya adik cowok lagi kok, dik. Dulu kalau dia mau ada apa-apa minta bantuanku. Sekarang dia udah punya saudara baru. Bukan kita, dik.”
Rasanya aku terprovokasi oleh perkataan kakakku, kemudian aku berpikir sejenak, dan ya, memang benar. Kemudian aku juga berkata dengan lirih namun tegas. “Aku juga sudah tidak memiliki kakak laki-laki lagi, mbak.”
Perlahan aku mulai membenci abangku. Ditambah lagi saat ayahku menegur hubungan abangku dengan wanita itu. Hanya satu kalimat yang sangat membekas dalam otakku dan hatiku. Yang dimana jika aku mengingat kata-kata itu aku ingin melompat dan menjatuhkan satu kepalan tanganku ke wajah abangku. Dan menarik rambut setan perempuan penghancur rumah kami itu.
“Mau jadi apa kamu? Masih muda, nyari perempuan yang belum punya anak masih bisa. Kamu itu punya pangkat. Banyak perempuan yang mau sama kamu. Kenapa memilih perempuan seperti itu?” Gertak ayahku.
“Kalau, Bapak sama Ibu nggak terima, biar aku yang keluar dari rumah.” Ayahku langsung meninggalkan abangku dan ibuku yang menangis di ruang keluarga.
Aku hanya bisa mendengarkan percakapan itu sembari menahan tangis dari dalam kamarku. Namun aku tak kuasa, tangisku meledak seketika.
Kamarku dan kamar abangku hanya berbatas sebuah dinding yang lebarnya tidak lebih dari duapuluh sentimeter. Namun aku seperti merasa sudah berbeda rumah dengannya. Canda dan tawa yang dulu kami lewatkan bersama kini sudah tidak ada. Bahkan sangat sulit diharapkan ada.
Bahkan jika aku sedang termenung diruang keluarga, khayalku mengawang dimasa-masa sulitku dan abangku. Tiga tahun lalu, orangtuaku hampir bercerai. Karena hadirnya orang ketiga di kehidupan ayahku.
***
Satu pagi aku sudah siap berangkat sekolah. Abangku masih terlelap diperaduannya. Tiba-tiba pertengkaran ayah dan ibuku, pecah. Telepon seluler ayahku melayang dikamar mandi. Pintu rumah ditutup dengan tenaga ayah yang sangat kuat. Dan aku tersimpuh di ruang keluarga.
Aku menutup telingaku, airmata membahasi pipiku dan jilbab yang baru saja aku kenakan. Tangisku pecah. Tiba-tiba abangku menghampiriku dan memelukku. Dia membisikan beberapa kata, mencoba meredam tangisku. Dia kemudian memapahku dan mengantarkanku ke sekolah.
Dengan airmata yang menetes dari kelopak mata abangku, dia mengeluarkan sepeda motornya dan menyalakannya. Dia menatapku, kemudian aku langsung naik di motornya. Tanpa alas kaki dia mengantarku ke sekolah. Sepanjang perjalanan, airmata kami menetes. Ditambah dengan gerimis yang tiba-tiba turun dari langit yang memang sudah mendung sedaritadi.
Abangku menghentikan motornya, mengambil jas hujan, dan kemudian memakaikannya ketubuhku. Sementara gerimis menghakiminya tiada ampun, hingga dia basah kuyup.
Sampai digerbang sekolah, dia hanya memintaku untuk fokus ke ujian. Karena hari itu bertepatan dengan ujian kenaikan kelas SMA.
“Dik, yang tadi jangan dipikir dulu. Nanti aku nyuruh Mbak buat jemput kamu.” Katanya dengan airmata yang masih saja mengalir dengan perlahan namun jelas. Meskipun sedikit tersamarkan dengan air gerimis yang perlahan menjadi hujan.
Aku mengangguk. Aku sudah tidak mampu lagi berkata apapun. Setelah melepas jas hujan, aku langsung berjalan menuju kedalam gerbang sekolah. Sesekali aku kembali menengok ke arah abangku, yang mulai menyalakan sepeda motornya dan hendak kembali kerumah.
Kejadian di pagi yang suram itu, masih amat jelas terbayang di pikiranku. Bahkan setiap kali aku mengingatnya, airmataku tumpah membasahi pipiku. Itulah mungkin kali pertama abangku memelukku-dan mungkin kali terakhir.
Pada masa-masa itu adalah masa kedekatanku dan abangku yang paling dekat. Sedekat apapun kami, kami tidak pernah sedekat masa-masa kelam itu. Bahkan pernah satu kali abangku berkata, “Jika Bapak dan Ibu masih seperti itu, Abang bakal nyari kontrakan. Kamu boleh ikut Abang, atau ikut Mbak, Dik.”
“Iya, Bang.”
Masa-masa itu adalah masa-masa tersulit yang pernah aku alami. Pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi hanya aku dengarkan dari dalam kamar yang kukunci rapat. Beberapakali bantalku yang sudah kusam kupakai untuk menutup telingaku. Karena pertengkaran itu semakin keras. Sekali suara piring mencium lantaipun turut aku dengar. Aku semakin takut.
Hal-hal demikian membuatku tidak ingin berlama-lama dirumah. Bahkan beberapa kali pada masa-masa sulit itu, aku kabur dari rumah. Hingga akhirnya ayah dan ibuku menyerah. Keluarga kami terselamatkan dari perpecahan.
***
Namun tidak pernah ada kapal yang benar-benar bisa selamat dari badai. Karena kali ini kapal kami kembali diterpa badai kehidupan yang sangat dahsyat. Hadirnya perempuan beranak dua itu. Perempuan yang kini menculik perhatian salah satu awak kapal kami. Dia telah mengambil abangku dari rumah kami.
Berhari-hari seusai pertengkaran orangtuaku dengan abangku, aku berpapasan dengan abangku. Namun sekalipun kami tidak bertegur sapa. Rumah ini benar-benar telah retak. Jika diperbolehkan aku hanya ingin meminta rumahku seperti yang dahulu. Sederhana, namun penuh dengan kasih sayang. Penuh dengan kehangatan. Tak apa makan tidak dengan ayam. Hanya makan nasi dan garam, namun kami bahagia. Tidak ada rumah dalam rumah seperti ini. Berkumpul diruang keluarga saat kami bersama adalah sebuah kerinduan yang amat menyiksa batin dan perasaan. Dan kini andai saja aku bisa bicara dengan wanita itu, aku hanya ingin memohon kepadanya untuk mengembalikan abangku yang telah direnggutnya dari keluargaku.


Jogjakarta, 12 Juli 2013